Menteri Keuangan Kecewa dengan BPJS Kesehatan

- Kamis, 22 Agustus 2019 | 11:01 WIB

JAKARTA– Defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan tahun ini diperkirakan membengkak hingga Rp 28,5 triliun. Jumlah tersebut melonjak dari defisit BPJS Kesehatan tahun lalu yang sebesar Rp 19,4 triliun, serta defisit pada 2018 yang masih senilai Rp 13,8 triliun.

Direktur Keuangan BPJS Kesehatan Kemal Imam Santoso mengatakan, dirinya berharap iuran kepesertaan BPJS Kesehatan bisa segera dinaikkan. “Penyebab defisit salah satunya iuran. Ada hal-hal lain yang harus kita perbaiki juga, seperti efisiensi, control, risk management, semuanya,” katanya usai rapat kerja bersama Komisi XI DPR kemarin (21/8).

Tingginya defisit ini diperkirakan disebabkan beberapa hal. Hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyebutkan, ada banyak perusahaan yang tidak jujur dalam mendaftarkan karyawannya untuk mengikuti Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Perusahaan-perusahaan tersebut tidak mendaftarkan semua karyawannnya untuk menjadi peserta BPJS Kesehatan, serta memperkecil data jumlah karyawan yang dilaporkan ke Dinas Ketenagakerjaan setempat. Di samping itu, ada juga rumah sakit (RS) yang sengaja memalsukan kelasnya agar pendapatan per unitnya besar ketika melayani pasien BPJS Kesehatan. Missal RS kelas D, mengaku sebagai RS kelas C. Hal ini tentu ikut memengaruhi klaim yang dibayarkan BPJS Kesehatan karena kelas RS juga berkaitan dengan kelas pelayanan peserta.

Hal lain yang ikut membuat defisit membengkak adalah ketidakmampuan BPJS Kesehatan melakukan pemaksaan (enforcement) dalam menarik iuran. Terutama, pada masyarakat yang tergolong mampu, namun terus-terusan menunggak iuran BPJS Kesehatan. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku kecewa akan hal ini. Sebab, pihaknya tak dapat berbuat apa-apa selain membayarkan defisit dan menyuntikkan Penanaman Modal Negara (PMN) kepada BPJS Kesehatan. Mengenakan sanksi kepada peserta maupun RS pun tak bisa, karena itu bukan ranah Kemenkeu.

“Jadi semua orang bicara seolah-olah menteri keuangan yang belum bayar (menambal defisit BPJS Kesehatan, Red), padahal kami sudah bayar dan memberi bantuan. Tapi kami dianggap yang menjadi salah satu persoalan,” ucap Ani –sapaan akrab Sri. Dia pun mengimbau agar BPJS Kesehatan dan Kementerian Kesehatan lebih tegas kepada para peserta dan RS. Dia tak ingin APBN selalu dianggap sebagai solusi utama atas defisit yang dialami BPJS Kesehatan. “Kan kami menteri keuangan, bukan menteri keuangan kesehatan atau menteri kesehatan keuangan,” ujarnya kesal.

Terkait dengan kepesertaan, BPJS Kesehatan mengaku mengalami kesulitan. Misalnya saja untuk peserta penerima upah (PPU). Menurut audit BPKP ada 50.475 badan usaha yang belum terdaftar. Kepala Humas BPJS Kesehatan M Iqbal Anas Ma’ruf menyatakan bahwa 44.850 badan usaha tidak bisa ditindaklanjuti. Dia menyebutkan ada 2.419 badan usaha yang tutup dan 12.435 badan usahayang alamatnya tidak sesuai. ”5.629 badan usaha berpotensial. Artinya ada yang sudah dalam proses pendaftaran dan ada juga yang proses penegakan kepatuhan,” ungkapnya. 

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyatakan bahwa perbaikan JKN menjadi sebuah keharusan. Hal ini menyangkut kesehatan rakyat Indonesia. ”Saya berharap Pemerintah dan DPR bisa membicarakan masalah JKN ini dengan memastikan anggaran lebih layak khususnya kenaikan iuran PBI,” ungkap Timboel. 

DJSN sudah mengusulkan kenaikan tarif JKN. Usulan kenaikan tarif berkisar Rp 16.500 hingga Rp 40.000. Kenaikan itu disesuaikan dengan jenis kelas masing-masing peserta. Menteri Keuangan memiliki sinyal menyetujui hal itu. ”Tentunya usulan DJSN untuk peningkatan iuran PBI, baik. Namun usulan DJSN utk iuran non PBI tidak baik karena harus meninjau daya beli rakyat,” ucapnya. 

Selama ini iuran peserta PBI yang dibayarkan pemerintah hanya Rp 23.000. Menurut perhitungan secara aktuaria, idealnya iuran masing-masing peserta adalah Rp 36.000. 

Menaikan tarif ini hanya sedikit solusi bagi penanganan defisit.  Timboel berpendapat, cara lainnya adalah pengendalian biaya. Dalam hasil audit BPKP ditemukan beberapa kebocoran. Misal data peserta yang tidak sesuai, kelas rumah sakit yang tidak pas dengan pelayanan yang ada, dan beberapa hal lain. ”Oleh karenanya hasil audit BPKP juga harus dilaksanakan oleh BPJS Kesehatan dan pemerintah,” tuturnya. 

Tidak hanya itu, pemerintah dan DPR juga harus mengatasi masalah masalah lainnya. Perlu diingat ada beberapa pekerjaan rumah yang harus dikerjakan. Timboel mencontohkan keberadaan faskes dan pelayanan dan. (rin/lyn)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X