Teluk dipilih karena kondisi lautnya yang lebih tenang. Memudahkan untuk mobilisasi. Berbeda dengan Samboja, Kutai Kartanegara, yang berbatasan dengan Selat Makassar. Teluk dipilih juga karena faktor keamanan.
BALIKPAPAN–Peluang Provinsi Kalimantan Timur masih terbuka lebar meski Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto dicoret dari kandidat relokasi ibu kota negara ke Kalimantan. Kaltim masih memiliki sejumlah wilayah yang pantas dan sesuai dengan syarat yang diminta pemerintah pusat.
Pengamat tata kota dan wilayah dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan Farid Nurrahman yakin, posisi Benua Etam tetap kuat. Karena dalam proses penilaian lokasi pemindahan ibu kota negara, tak terpusat pada tahura saja. Tahura Bukit Soeharto sejak awal hanya menjadi opsi yang diusulkan dari Pemprov Kaltim.
"Karena pembahasannya tidak fokus ke daerah itu sendiri. Jadi, pengaruh Tahura Bukit Soeharto itu tidak signifikan," kata Farid, (19/8). Dia menyebut, dalam delineasi kawasan, ibu kota negara yang baru cenderung berada di dekat teluk. Artinya, dari sejumlah kriteria yang sudah sering dipaparkan oleh Bappenas, hanya satu wilayah yang strategis yang cocok dijadikan ibu kota baru.
"Di PPU (Penajam Paser Utara)," sebutnya. Menurut dia, teluk dipilih karena kondisi lautnya yang lebih tenang. Memudahkan untuk mobilisasi. Berbeda dengan Samboja, Kutai Kartanegara, yang berbatasan dengan Selat Makassar, teluk dipilih juga sebagai faktor keamanan. "Dari sisi pertahanan laut lebih baik dibandingkan dengan berada di selat yang terbuka," katanya.
PPU menjadi kandidat kuat karena berbagai pertimbangan. Mulai kondisi tanah dan jaraknya yang dekat dengan kota yang sudah berkembang. Seperti Balikpapan. Adapun Penajam, lanjut dia, secara infrastruktur sudah berkembang. Kehadiran pelabuhan dan terminal peti kemas di Kariangau, Balikpapan Barat, turut menunjang. Apalagi dengan kehadiran Jembatan Pulau Balang.
"Saya lihat delineasi Jembatan Pulau Balang ini merasa aneh. Karena posisinya ke luar. Tapi setelah ada isu ini, maka masuk akal (ibu kota negara di PPU)," bebernya. Lalu indikator lainnya adalah proyek perluasan kilang Pertamina di Balikpapan. Yang menurutnya disiapkan sebagai strategi pemerintah untuk meningkatkan cadangan energi di lokasi ibu kota negara. Terkait keamanannya, dia menyebut, tidak ada masalah.
Karena pun bila terjadi perang, dan kilang menjadi sasaran musuh untuk diledakkan, jaraknya akan jauh dari istana presiden. "Dari sisi pertahanan jika memang kilang diledakkan, radiusnya paling jauh 15 kilometer. Dan tidak akan sampai ke bagian teluk di mana ibu kota negara ada," sebutnya. Di sisi lain, menurut dia, dicoretnya Tahura Bukit Soeharto sebagai bentuk peringatan dari pusat kepada elite Kaltim untuk jangan terlalu percaya diri (pede) daerahnya dipilih.
Karena merasa lebih unggul dibandingkan Kalsel dan Kalteng. Bagaimanapun, presiden belum memutuskan secara resmi lokasi ibu kota negara.
"Karena menjadi berisiko jika mendahului keputusan resmi soal lokasi," katanya. Sebelumnya, Rektor Universitas Mulawarman (Unmul) Prof Masjaya mengatakan, cukup berisiko jika Presiden Joko Widodo menetapkan lokasi ibu kota negara berdasar kepentingan politik. Bukan kajian teknis dari Bappenas.
“Saya kira, pemindahan ibu kota dibicarakan atau dilontarkan, salah satunya untuk mengatasi masalah yang dihadapi ibu kota pada saat ini. Yakni, DKI Jakarta,” katanya kemarin. Jadi, lanjut dia, Bappenas mengkaji beberapa wilayah yang memenuhi unsur mengatasi masalah di DKI Jakarta saat ini.
“Secara objektif (penetapannya). Kajian Bappenas menjadi reasoning utama. Memberikan keyakinan kepada pemerintah, dalam hal ini Presiden, untuk menentukan (lokasi ibu kota negara),” jelasnya.
Masjaya menegaskan, jika Bappenas sudah melakukan kajian, harusnya menjadi rekomendasi dalam memutuskan.