Sudah 26 Ribu Hektare Hutan Terbakar

- Selasa, 20 Agustus 2019 | 11:41 WIB

SAMARINDA-Titik panas atau kebakaran hutan dan lahan tak hanya terjadi di Kalsel dan Kalteng. Problem tahunan tersebut juga melanda Kaltim. Tahun ini hingga bulan lalu ada puluhan hektare hutan dan lahan yang terbakar.

Teranyar, asap membubung tinggi di jalan poros Balikpapan-Samarinda akhir pekan lalu. Di pinggir jalan yang masuk kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Soeharto, Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara (Kukar), itu terbakar.

Data Dinas Kehutanan (Dishut) Kaltim, awal Januari hingga Juli 2019 sudah 26,6 ribu hektare hutan dan lahan yang terbakar. Di Kaltim, area hutan dan lahan yang terbakar paling luas berada di Kutai Barat (Kubar) 10.224 hektare. Lalu disusul Kukar seluas 7.767 hektare.

Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem Dishut Kaltim Duratma Momo mengatakan, beberapa kawasan di Kaltim yang banyak titik panasnya berada di Berau, Kutim, dan Kukar. Sepanjang Januari hingga Juli 2019, total titik panas mencapai 1.019. Dari data yang dihimpun, terbanyak adalah Kukar dengan total 227 titik panas.

Dia mengatakan, hotspot yang ditangkap satelit itu bukan berarti kebakaran. Bisa jadi lokasi tambang batu bara yang suhunya sangat panas jadi ditangkap hotspot. Jadi, jika ada hotspot, tim akan melakukan pengecekan. “Dilihat hotspot-nya itu dekat mana. Kalau dekat perusahaan A, kami minta mereka cek ke sana. Kalau ada kebakaran, bakal dipadamkan. Sebab, umumnya perusahaan sudah dilengkapi alat pemadam,” papar Momo.

Dia mencontohkan, salah satu perusahaan di Sebulu, Kukar, telah memiliki sistem yang baik dengan memasang CCTV di hutan. Jadi, ketika melihat ada indikasi kebakaran, mereka langsung turun melakukan pemadaman. “Kami sudah sosialisasi, membentuk regu perbantuan, membuat posko kebakaran, juga patroli,” imbuh Momo.

Dia menambahkan, kesadaran warga sangat penting soal risiko-risiko membakar lahan. Pasalnya, sebut Momo, penyebab kebakaran hutan yang terjadi untuk pembukaan lahan masyarakat.

Selama ini banyak warga mengira membakar lahan asalkan kurang dari 2 hektare tidak masalah. Sebab, hal itu merujuk Undang-Undang 32/2009 yang mengatakan kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan pembakaran lahan adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal.

Selain itu, dikelilingi sekat bakar sehingga mencegah api menjalar ke wilayah sekelilingnya. “Padahal, dalam Permen (Peraturan Menteri) Lingkungan Hidup Nomor 10 Tahun 2010 Pasal 4, banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Tidak asal bakar yang penting kurang 2 hektare saja,” terang Momo.

Dia menjabarkan, dalam permen tersebut, ada regulasi yang mengharuskan warga melakukan pemberitahuan kepada kepala desa jika hendak membakar lahan untuk pembukaan ladang tanaman lokal.

Setelah itu, ucap dia, kepala desa menyampaikan pemberitahuan tersebut ke bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kabupaten/kota. Kemudian, pembakaran lahan tak boleh dilakukan pada kondisi curah hujan di bawah normal, kemarau panjang, atau saat iklim kering.

“Hal ini berdasarkan publikasi lembaga non-kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang meteorologi, klimatologi, dan geofisika,” sambung Momo.

Dia menuturkan, dalam kebakaran hutan dan lahan ada beberapa faktor pendukung. Salah satunya adanya bahan bakar di lahan tersebut. Di antaranya, tersedianya tumbuhan atau pohon, lahan bergambut, adan api, dan tanah mengandung batu bara.

Untuk Kaltim, ujar dia, dibandingkan lahan gambut, tanah mengandung batu bara lebih banyak. Menurut Momo, pemadaman lahan yang mengandung batu bara lebih kompleks dibandingkan lahan gambut. Sebab, bahan bakar di dalam tanah. Berbeda dengan gambut yang nyata terbakar di atas tanah. Kebakaran lahan memang tak bisa dilepaskan dari cuaca. Kondisi kemarau membuat hutan dan lahan terbakar.

Sementara itu, prakirawan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Samarinda Sutrisno mengatakan, di Samarinda dan sekitarnya, musim kemarau bakal berada di puncaknya mulai September hingga Oktober 2019. Diprediksi musim hujan baru akan terjadi pada akhir tahun atau awal tahun depan. “Antara November, Desember 2019, hingga Januari hingga Maret 2020,” kata Sutrisno. (*/nyc/rom/k16)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X