CATATAN Syafril Teha Noer
SEMBILAN tahun lebih sepekan silam, Sarkowi V Zahry, anggota DPRD Kalimantan Timur, sudah ngomong ibu kota Republik Indonesia pengganti Jakarta. Argumentatif. Cukup bahan banding. Omongan itu dia tulis sebagai telaah. Dan terbit di halaman depan Kaltim Post, Jumat, 13 Agustus 2010–di surat kabar ini dia pernah berkiprah sebagai jurnalis.
Telaah Sarkowi praktis lima tahun cepat dari Kapsul Waktu, yang memuat tujuh Mimpi Kalimantan Timur–Mimpi Indonesia. Satu di antaranya adalah “Mimpi ibu kota Indonesia di Kalimantan Timur”. Kapsul Waktu adalah gagasan Awang Faroek Ishak, gubernur Kalimantan Timur, menandai peringatan 70 Tahun Proklamasi Kemerdekaan RI.
Judulnya DKI Samboja–Daerah Khusus Ibu Kota Samboja. Owi, panggilan akrabnya, memulai dengan gambaran Jakarta yang keuyuhan. Kota itu dirancang Belanda untuk hunian 800 ribu jiwa. Kini dikajali 23 juta jiwa. Dan bakal terus bertambah, akibat daya betot 80 persen uang yang beredar di sana.
Hunian, perkantoran, pabrik, mal, serta fasilitas umum sudah, sedang, dan akan terus menjarah ruang-ruang terbuka hijau di Kota Betawi. Pertumbuhan kendaraan bermotor melejit-lejit. Juga, pabrik-pabrik. Asap membubung, menyemprot-nyemprot, mencemari udara. Jalan-jalan macet. Menghasilkan kerugian senilai Rp 17-an triliun saban tahun.
Presiden RI pertama, Ir Soekarno, tentu pemimpin yang terbiasa berhitung jauh ke depan. Beliaulah yang pertama mewacanakan antisipasi atas kondisi Jakarta, tahun 1950-an, lewat gagasan pemindahan perannya sebagai ibu kota negara.
Tegas dan konkret. Pindah ke luar Jawa. Ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Tata kota Palangka Raya yang masih bisa ditemukan sekarang adalah di antara penanda, bahwa pemindahan itu sudah mulai disiapkan pada masa pemerintahan beliau.
Pindah ibu kota negara, tulis Owi, bukanlah perkara sulit. Amerika Serikat melakukannya dua abad lebih cepat. Dari New York ke Washington DC. Australia membangun kota baru, Canberra, tahun 1913, sebagai pusat pemerintahan pengganti Sydney.
Jepang memboyong kantor-kantor pemerintah dari Kyoto ke Tokyo. Begitu pula Jerman–dari Bonn ke Berlin. Lalu, Brasil dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Kelak, juga Malaysia–dari Kuala Lumpur ke Putrajaya; Serta Afrika Selatan, dari Cape Town ke Johannesburg.
Presiden RI berikutnya, Soeharto, empat puluhan tahun dari “opsi Palangka Raya” Soekarno, juga menilai Jakarta tidak lagi bisa diandalkan. Ibu kota harus pindah. Namun beliau memilih Jonggol, Jawa Barat. Hanya 60-an kilometer dari Jakarta. Di 30 ribuan hektare luasan lahan. Beliau menegaskannya lewat Keputusan Presiden 1 Tahun 1997–setahun sebelum rezim Orde Baru runtuh.
Pengganti Soeharto, Habibie, sempat meneruskan rencana pindah ibu kota itu. Bukan ke Palangka Raya atau Jonggol. Melainkan ke Sidrap, Sulawesi Selatan–mengingat posisi geografiknya yang tepat di pusat wilayah Nusantara.
Jadi, Indonesia, Amerika Serikat, Australia, Jepang, Jerman, Brasil, Malaysia, dan Afrika Selatan sebenarnya sama dalam satu hal; pindah ibu kota negara itu urusan mudah. Bedanya satu saja; mereka sudah berduyun pindah, kita terlalu “penuh perhitungan” dan kreatif berwacana. Gagasan besar Soekarno, Soeharto, dan Habibie, parkir puluhan tahun.