Pekan depan usaha repatriasi warga Rohingya dimulai. Pulang berarti berjudi mempertaruhkan nyawa jika represi kembali terjadi. Tak pulang, tak ada masa depan.
Kamp transit itu memang sudah lama kosong. Sebab, pemulangan pengungsi Rohingya juga sudah dua kali tertunda. Para pengungsi tak mau pulang. Mereka masih ketakutan. Pembantaian yang pernah mereka alami masih menyisakan trauma mendalam.
PBB selama ini menyebut warga Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya sedunia. Dalam kerusuhan di Rakhine, mereka dibunuh, dianiaya, dan diperkosa secara brutal. Rumah-rumahnya pun dihancurkan.
Rencananya kamp yang sedang dibersihkan itu dipakai untuk tempat tinggal sementara para pengungsi yang dipulangkan dari Bangladesh. Setelah dari kamp tersebut, mereka dimukimkan kembali di Rakhine. Lokasi permukimannya masih tanda tanya. Belum ada paparan yang jelas ke media. Yang jelas, rumah para penduduk Rohingya di pengungsian itu sudah rata dengan tanah. Entah itu dihancurkan atau dibakar dalam kerusuhan 2016-2017.
Sampai hari ini, situasi di pengungsian masih aman. Belum ada penolakan pemulangan kembali seperti akhir tahun lalu. Penduduk Rohingya mungkin berpikir ulang. Sebab, nasib mereka di pengungsian juga tanpa kejelasan.
Pemerintah Bangladesh berencana memindahkan sebagian pengungsi Rohingya ke Bashan Char. Itu adalah pulau terpencil yang rawan banjir saat musim hujan. Akses ke mana-mana sulit. Bisa dikatakan, kamp di Bahsan Char ibarat penjara terbuka. Para pengungsi akan terkungkung di sana.
Di pengungsian Cox’s Bazar situasi tak kalah memilukan. Fasilitas dasar seperti toilet dan klinik kesehatan minim. Para pengungsi bekerja serabutan. Beberapa diam-diam keluar area pengungsian dan bekerja di luar Cox’s Bazar.
Anak-anak juga tidak mendapat pendidikan yang memadai. Jumat (16/8) Unicef menyerukan agar ada peningkatan kesempatan belajar untuk anak-anak Rohingya yang tinggal di pengungsian. Dalam laporannya yang berjudul Beyond Survival: Rohingya Refugee Children in Bangladesh Want to Learn, Unicef mengungkapkan kesulitan-kesulitan yang dialami anak-anak di kamp pengungsian. Salah satunya soal pendidikan.
’’Anak-anak dan remaja menuntut lebih dari sekadar bertahan hidup. Mereka ingin pendidikan berkualitas yang bisa menyediakan masa depan penuh harapan.’’ Demikian bunyi laporan Unicef tersebut.
Dalam laporan Unicef itu terungkap bahwa 97 persen anak-anak usia 15–18 tahun tidak mengenyam pendidikan di sekolah. Orang tua mereka khawatir, jika tak kunjung sekolah, anak-anak tersebut akan menjadi korban eksploitasi dan kekerasan.
Bagi anak perempuan, situasinya lebih buruk lagi. Pendidikan mereka jauh lebih tertinggal bila dibandingkan dengan anak laki-laki. Biasanya begitu memasuki masa puber, anak perempuan tak lagi menuntut ilmu. Banyak yang dikawinkan paksa. Praktik itu jamak terjadi di pengungsian.
’’Solusi untuk krisis ini adalah memberikan kemungkinan kepada para pengungsi Rohingya di Bangladesh untuk secara sukarela kembali ke rumah mereka di Rakhine, Myanmar.’’ Demikian bunyi laporan tersebut.
Tapi, Unicef memberikan catatan. Mereka harus pulang dengan aman dan bermartabat serta bisa hidup damai dan harmoni dengan tetangga mereka sebagai anggota penuh masyarakat. Dengan kata lain, status mereka sebagai warga negara Myanmar harus diakui.