USIANYA sudah 86 tahun. Sudah hampir tiga dekade silam dia pensiun sebagai pengajar. Tapi, kenangan Ahmad Rifai tentang salah seorang muridnya dari masa-masa yang jauh itu masih terus terawat.
Murid yang jago bermain badminton. Yang kerap memimpin teman-temannya berbaris sebelum masuk kelas. Dan, satu-satunya yang selalu berbicara dalam bahasa Indonesia dengannya.
”Juga selalu ceria dan senang baca puisi dari buku pelajaran sekolah,” kenang Rifai dalam suara pelan sembari duduk di kursi rodanya.
Murid itu adalah Ahmad Mustofa Bisri. ”Dari zaman sekolah, saya sudah yakin Gus Mus (sapaan akrab Ahmad Mustofa Bisri, Red) akan jadi orang besar. Beliau itu orang sae (baik hati, Red),” kata Rifai kepada Jawa Pos di Kelenteng Sam Poo Kong, Semarang, Jawa Tengah.
Keyakinan Rifai itu akhirnya memang terbukti. Puluhan tahun setelah lulus dari sekolah rakyat (SR) di usia 12 tahun, Ahmad Mustofa Bisri, murid Rifai tersebut, mewujud jadi sosok yang tak mudah untuk dikategorikan. Saking mumpuninya dia dalam banyak bidang.
Gus Mus, demikian sapaan akrabnya, adalah ulama besar nan karismatik sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin. Selain itu, pria kelahiran 10 Agustus 1944 tersebut dikenal sebagai penulis, penerjemah, sekaligus pelukis dengan daftar karya yang menjulur panjang.
Tak heran kalau kemudian pergaulannya melintas batas. Dan, itu bisa dilihat pada Rabu malam lalu (14/8) di Kelenteng Sam Poo Kong, saat para santri dan sahabat mempersembahkan perayaan ulang tahunnya ke-75. Para tamu datang dari berbagai latar belakang.
Dan, di acara itu pula Gus Mus, yang oleh banyak pihak dianggap sebagai guru bangsa, mengundang Rifai untuk menunjukkan penghormatannya kepada sang guru.
”Sekolah formal saya itu cuma sampai SR. Beliau ini (Pak Rifai, Red) satu-satunya guru saya di SR yang masih tersisa,” katanya sebelum menyerahkan cenderamata kepada sang guru di atas panggung.
Sebenarnya, lanjut Gus Mus, dia sempat duduk di bangku madrasah tsanawiyah. ”Di kelas 1, saya drop out,” tuturnya.
Menurut Susiana Djati, putri Rifai yang turut mendampingi, undangan dari Gus Mus itu disampaikan sekitar seminggu sebelum acara. ”Bapak sering kali cerita kepada kami, putra-putrinya, tentang Gus Mus,” kata Susiana yang merupakan teman sekolah salah seorang putri Gus Mus, Raabiyatul Bisriyah.
Di SR tempat Gus Mus bersekolah, Rifai mengampu pelajaran berhitung, bahasa Indonesia, dan pengetahuan umum. ”Kalau untuk nilai pelajaran, Gus Mus itu sebenarnya biasa saja. Tapi, karakter dan kedisiplinan beliau menonjol sekali,” kata Rifai.
Hubungan guru-murid itu tak hanya terjalin di sekolah. Di luar jam sekolah, Rifai kerap mengajak si murid bermain bulu tangkis. ”Gus Mus itu dulu kalau ada perlombaan badminton Agustusan di Alun-Alun Rembang selalu ikut. Sering menang juga,” tutur Rifai.
Kedekatan itu juga terus terawat setelah Gus Mus lulus SR. Kebetulan, kelurahan tempat tinggal keduanya di Rembang bersebelahan. Gus Mus di Leteh, sang guru di Kutoharjo. ”Tiap kali keluarga besar Gus Mus ada hajatan, bapak juga selalu diundang,” kata Susiana.
Sekolah formal Gus Mus mungkin memang hanya sampai SR. Tapi, dia dimatangkan di berbagai pondok pesantren. Juga meniti ilmu sampai perguruan tinggi termasyhur, Al Azhar, di Mesir.