(Wajib) Kabinet Antikorupsi

- Selasa, 13 Agustus 2019 | 13:08 WIB

Adam Setiawan, SH

Mahasiswa Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia

Tidak terasa masa bakti kepemimpinan Presiden Joko Widodo bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla akan usai dan dilanjutkan kembali oleh presiden petahana Joko Widodo bersama Wakil Presiden yang baru KH Ma’ruf Amin, tepatnya pada 20 Oktober 2019 diadakan pelantikan pasangan Presiden dan Wakil Presiden. 

Seiring dengan hal tersebut, kita semua, khususnya pengamat politik dan hukum tata negara tidak sabar menantikan siapa saja kandidat yang kelak masuk susunan kabinet yang dipimpin Joko Widodo dan Ma’ruf Amin. Apakah menteri-menteri yang kelak diangkat Presiden terpilih merupakan wajah lama atau wajah baru. Apakah menteri-menteri yang diangkat merupakan politikus dari partai pendukung pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin atau bahkan menteri-menteri yang diangkat berasal dari kalangan profesional yang tidak terafiliasi dengan partai? Wallahu a'lam. 

Presiden mempunyai hak preogratif atau hak eksklusif untuk menentukan susunan kabinetnya sebagaimana disebutkan secara expressis verbis dalam UUD RI 1945 bahwa menteri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Namun, yang menjadi persoalan klasik adalah apakah menteri yang dipilih Presiden merupakan pilihan yang terbaik untuk membantu Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan dalam lima tahun.

Yang dimaksud dengan “Pilihan yang terbaik” adalah menteri tersebut compatible sesuai dengan bidangnya dan mempunyai track record yang bersih dari praktik KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Mengingat dari pengalaman yang ada di beberapa kabinet terdahulu, beberapa menterinya terlibat dalam kasus korupsi.

Sebut saja sejak zaman kabinet “pembangunan” yang dipimpin Presiden Soeharto, tidak dapat terelakkan, praktik KKN pada zaman itu sangat menjamur, meski akhirnya sukar dipertanggungjawabkan. Sebab pada zaman itu Indonesia belum memiliki lembaga antirasuah yang konsisten dalam memberantas korupsi seperti zaman sekarang. 

Beralih pada era kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono dengan Kabinet Indonesia Bersatu. Bisa disebut zaman kepemimpinan SBY ini merupakan momen bersejarah bagi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas korupsi hingga akarnya tanpa pandang bulu. Mengapa begitu KPK dengan independensinya mengukir sejarah, lima menteri yang ada di kabinet SBY bahkan besan SBY diangkut untuk diadili karena kasus korupsi. Tidak berhenti pada era kepemimpinan Joko Widodo yang baru akan menyelesaikan satu periode sudah satu menterinya yang terlibat dalam kasus korupsi yakni Idrus Marham disusul tiga menterinya yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi. 

Kendati yang melakukan korupsi itu adalah menterinya dan yang bertanggung jawab adalah individu/pribadi menteri tersebut. Namun, tetap saja Presiden mempunyai beban dan tanggung jawab moral terhadap rakyat atas perilaku koruptif menterinya. Sehingga memunculkan rasa ketidakpercayaan rakyat (public distrust) terhadap kinerja Presiden bersama kabinetnya. Di balik itu pula muncul pertanyaan di benak penulis, bagaimanakah pertimbangan presiden dalam memilih menteri-menteri tersebut?

Apabila merujuk Pasal 22 Ayat (2) UU No 39/2008, syarat untuk bisa diangkat menjadi menteri oleh presiden antara lain a. warga negara Indonesia; b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi kemerdekaan; d. sehat jasmani dan rohani; e. memiliki integritas dan kepribadian yang baik; dan f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.

Adapun syarat yang diatur mempunyai maksud untuk membatasi hak presiden dalam memilih seorang menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik. Namun, presiden diharapkan memerhatikan kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman kepemimpinan, dan sanggup bekerja sama sebagai pembantu presiden. Di samping itu, membangun sistem pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima.

Berdasar realitas yang ada, masih ada oknum menteri yang dipilih presiden terlibat dalam tindak pidana korupsi, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Menurut penulis, solusi yang tepat untuk mengatasi hal tersebut untuk meminimalisasi terjadinya kecelakaan “menterinya tersangkut kasus korupsi”. Pertama, sudah seyogianya presiden berkordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi atau lembaga lain seperti Ombudsman Republik Indonesia, guna memberikan masukan atau rekomendasi terhadap presiden dalam menjaring menteri-menteri yang mempunyai kualitas mumpuni, berintegritas terbebas dari kontaminasi praktik KKN.

Kedua, presiden sudah saatnya menjatuhkan pilihan terhadap menteri yang berasal dari kalangan profesional, atau yang dikenal dengan zaken kabinet. Zaken kabinet merupakan suatu kabinet yang para menterinya dipilih atau berasal dari tokoh-tokoh yang profesional, ahli di bidangnya, jauh dari latar belakang partai tertentu. Meski tidak menjamin bahwa menteri yang berasal dari kalangan profesional akan terbebas dari perilaku koruptif.

Jika dipikir secara matang, rasanya sukar untuk mengimplementasikan kedua solusi tersebut secara konsisten. Sebab konstelasi politik negara Indonesia yang carut marut ditambah negara Indonesia menganut sistem kepartaian multipartai. Pada satu sisi Indonesia mempertegas menganut sistem pemerintahan presidensial, tapi di sisi lain Indonesia mendesain sistem kepartaian dengan sistem multipartai. Dalam hal ini telah terjadi miskonsepsi, sistem multipartai yang tidak dapat dikawinkan dengan sistem pemerintahan presidensial. 

Jumlah partai yang membeludak cenderung mengakibatkan gesekan kepentingan antar partai di parlemen dengan presiden yang notabene merupakan kepala pemerintahan (chief of executive) sekaligus kepala negara (chief of state). Gesekan kepentingan terjadi tatkala fungsi legislasi telah melibatkan presiden terlalu jauh. Dalam proses pembentukan undang-undang, DPR melakukan pembahasan dan persetujuan bersama presiden. Artinya, jika DPR tidak menyetujui rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintah atau sebaliknya, presiden menolak rancangan undang-undang yang diusulkan oleh DPR, alhasil undang-undang tidak mungkin ada. 

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X