Kaltim Terus Terdampak Penurunan Harga CPO

- Senin, 12 Agustus 2019 | 11:18 WIB

SAMARINDA – Harga tandan buah segar (TBS) pada Juli jatuh pada Rp 1.173 per kilogram. Jumlah itu terus mengecil jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang mencapai Rp 1.197 per kilogram. Pelemahan harga TBS tentunya tidak lepas dari terus suramnya harga minyak kelapa sawit mentah atau crude palm oil (CPO).

Kepala Dinas Perkebunan Kaltim Ujang Rachmad mengatakan, fluktuasi harga komoditas merupakan hal wajar. Seluruh hasil pertanian pasti mengalami hal serupa. Saat ini harga-harga yang sudah ditetapkan per bulan merupakan standar bagi para petani yang sudah bermitra dengan perusahaan pemilik pabrik kelapa sawit di Kaltim, khususnya kebun plasma. Sehingga ini menjadi harga acuan oleh petani.

“Harga TBS tersebut, ditetapkan berdasarkan harga CPO dunia. Sehingga pelemahan harga CPO pasti dirasakan oleh petani Kaltim,” katanya Jumat (9/8).

Menurutnya, harga CPO ditentukan oleh harga pasar dari supplay dan demand. Sehingga penurunan dan peningkatan TBS tentunya berdasarkan dari permintaan CPO. Dengan begitu pelemahan harga jual CPO, dampaknya akan langsung terasa oleh TBS di daerah.

“Setiap bulan perhitungan TBS kelapa sawit membutuhkan komponen harga CPO dunia,” tutupnya.

Secara tahunan, harga internasional dan domestik CPO masing-masing terkoreksi minus 16,92 persen year on year (yoy) dan minus 18,31 persen (yoy). Adapun berlanjutnya penurunan harga acuan tersebut disebabkan masih dibatasinya penggunaan CPO di Uni Eropa (UE), menyebabkan pangsa pasar CPO global menjadi terbatas di tengah masih terjaganya pasokan CPO.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammad Sjah Djafar mengatakan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas unggulan Kaltim setelah batu bara. Penurunan atau pun peningkatan harga komoditas ini pasti berpengaruh besar terhadap ekonomi Bumi Etam.

“Saat ini harga memang masih terus mengalami perlambatan,” katanya, Minggu (11/8).

Penurunan juga terjadi pada pertumbuhan nilai ekspor CPO yang mengalami perlambatan dari 158,85 persen (yoy) pada awal tahun menjadi 53,77 persen (yoy) saat ini. Padahal pada triwulan pertama tahun ini ekspor crude palm oil (CPO) Kaltim sudah tumbuh 57,42 persen (yoy) dibadingkan dengan triwulan IV 2018.

“Kelapa sawit Indonesia saat ini terus memiliki tantangan yang berasal dari eksternal,” ujarnya.

Dia menjelaskan, UE menyatakan bahwa perkebunan kelapa sawit akan mempercepat proses deforestasi dan merusak lingkungan. Aksi UE menentang produk-produk berbasis kelapa sawit merupakan upaya mereka untuk melindungi produk minyak nabati UE yang berbasis rapeseed dan sunflower seed. Paling terbaru, UE sedang mengusulkan kebijakan penggunaan Renewable Energy Directive (RED II).

“Sebenarnya kebanyakan yang ditentang adalah industri turunan CPO. Tapi karena kebanyakan Kaltim masih mengekspor CPO, sehingga dampaknya belum terlalu besar untuk ekspor kita,” ungkapnya.

Dia mengatakan, namun untuk kinerja ekspor secara menyeluruh pasti terasa. Sebab, harga CPO terus anjlok yang akan dirasakan hingga penurunan harga TBS kelapa sawit. Tentunya penurunan secara pemasukan akan terasa, baik dari petani maupun pelaku usaha ekspor CPO. Pemerintah harus melakukan gerakan agar kampanye tersebut tidak berlangsung dalam jangka panjang. Apalagi untuk daerah yang sudah memiliki industri turunan kelapa sawit. “Kalau kampanye negatif terus berlangsung, harga CPO domestik maupun internasional akan terus anjlok,” pungkasnya.(*/ctr/tom/k18)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB

Di Berau Beli Pertalite Kini Pakai QR Code

Sabtu, 20 April 2024 | 15:45 WIB

Kutai Timur Pasok Pisang Rebus ke Jepang

Sabtu, 20 April 2024 | 15:15 WIB

Pengusaha Kuliner Dilema, Harga Bapok Makin Naik

Sabtu, 20 April 2024 | 15:00 WIB
X