Jangan Nekat Kerja di Timur Tengah

- Rabu, 7 Agustus 2019 | 11:18 WIB

JAKARTA– Rentetan masalah tenaga kerja Indonesia (TKI) di negara-negara Timur Tengah seperti tidak ada habisnya. Mulai dari tindak kekerasan, lemahnya jaminan perlindungan, hingga gaji yang tak kunjung dibayar.

Pemerintah telah menghentikan dan melarang TKI yang bekerja untuk perseorangan di 19 negara Timur Tengah. ”Kami menengarai masih banyak warga kita yang berangkat ke sana untuk bekerja,” ucap Plh Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia (PWNI/BHI) Kementerian Luar Negeri Judha Nugraha saat ditemui di kantornya kemarin. Ketika menyalahi peraturan tersebut, TKI yang nekat berangkat tidak terlindungi hak-haknya. Sebab, mereka tidak memiliki kontrak kerja. Padahal, kontrak kerja itu yang menjadi pelindung utama. Di dalamnya tercantum berbagai ketentuan dan hak yang harus dipenuhi oleh masing-masing pihak. Baik pengguna jasa maupun TKI.

Celah itu yang kemudian dimanfaatkan oknum pengguna jasa untuk menyodorkan surat pernyataan tidak resmi. Cara tersebut dilakukan agar sang majikan terhindar dari kewajiban membayar upah bulanan. Seperti yang terjadi di Arab Saudi. Dalam pernyataan resmi, Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah sukses mencairkan gaji pekerja migrant Indonesia (PMI) atau TKI yang tidak dibayarkan oleh pengguna jasa sebesar Rp 7,6 miliar. Total ada 105 orang TKI. Mayoritas bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART). Masa tunggakan gaji paling lama adalah 15 tahun.

Konsul Jenderal (Konjen) RI Jeddah Mohamad Hery menuturkan, tunggakan upah yang menumpuk membuat majikan berusaha tidak memenuhi kewajibannya. ”Ada yang nyuruh pembantunya cap jempol atau tanda tangan. Padahal, pembantu tidak mengerti isinya. Ada pula yang melaporkan pekerjanya kabur, sehingga dia tidak perlu bayar gajinya setelah pekerja itu dideportasi. Macam-macam. Tapi tetap kami kejar dia sampai bayar,” terang Hery.

Para TKI yang melapor umumnya diberangkatkan dengan visa ziarah. Sesampainya di Saudi, mereka diberikan kartu izin menetap dan bekerja. Yang lebih miris, para pejuang devisa itu tidak memiliki keahlian khusus. Sehingga, ketika bekerja hanya sebagai sopir maupun ART. Tak ayal, kasus yang dihadapi semacam itu menjadi kompleks. Artinya, kata Judha, para WNI yang berangkat unprocedural itu tidak diberi pembekalan sebelumnya. Mengenai apa saja hak-hak mereka, fungsi kontrak kerja, hingga ketika ada masalah bagaimana mereka harus mengadu ke perwakilan RI. ”Makanya, ketika mereka disodorkan satu dokumen, disuruh cap, bahkan mereka mungkin tidak paham dengan isinya, ya mereka asal cap saja,” ujarnya.

Judha mengimbau, agar masyarakat yang ingin bekerja di luar negeri jangan memaksakan diri ketika mengetahui negara di timur tengah ditutup. Sebab, hal tersebut membuat proses perlindungan akan semakin kompleks dan sulit.

Kasus gaji yang dikempleng majikan itu bisa sebenarnya bisa dihindari. Menurut Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), tenaga kerja sudah dibekali dengan informasi-informasi agar tidak ada kasus tak dapat gaji. "Kan sebelum berangkat ada pelatihan. Pada saat pembekalan akhir, ada penjelasan soal hak dan kewajiban TKI serta pihak yang merekrut," jelas Deputi Perlindungan TKI Anjar Prihantono kemarin. (han/deb/oni)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Garuda Layani 9 Embarkasi, Saudia Airlines 5

Senin, 22 April 2024 | 08:17 WIB
X