Cerita Anggota Komunitas Difabel DC2

- Jumat, 2 Agustus 2019 | 10:52 WIB

Tak mudah menjadi penyandang disabilitas di negeri ini. Keterbatasan fisik, proteksi keluarga yang berlebihan, hingga kurang terbukanya akses edukasi dan pekerjaan membuat mereka harus mengeluarkan usaha lebih untuk bisa hidup mandiri.

SHABRINA PARAMACITRA, Malang

Ruang tamu di sebuah rumah di kawasan Sukun, Kota Malang, siang itu (14/7) dipenuhi potongan kain dan manik-manik. Beberapa maneken terpajang memperagakan gaun pesta dan gaun pernikahan yang cantik. Selain untuk menerima tamu, ruangan itu sekaligus menjadi ruang kerja dan ruang pamer hasil karya Sutarno, sang pemilik rumah.

Tarno–sapaan akrab Sutarno–tengah sibuk menggarap pesanan seragam sekolah tetangga. Seragam itu segera dipakai untuk memasuki tahun pelajaran baru. Pria 43 tahun tersebut menerima pengerjaan seragam di sela menggarap gaun pesta. ’’Pokoknya, yang penting jangan sampai orang yang pesan itu kecewa sama hasil jahitan dan waktu penyelesaiannya,’’ kata Tarno.

Tangan kanan Tarno yang lumpuh karena tersiram air panas saat kecil tampak selalu menekuk dan sulit bergerak bebas. Namun, tangan kirinya mampu bergerak lincah.

Meski tunadaksa, Tarno dikenal sebagai penjahit profesional. Mulai gaun pesta, baju anak, jas pria, dan lain-lain, semua bisa digarapnya. Ketua Komunitas Difabel Creative Community (DC2) itu juga menyebarkan semangat yang sama kepada rekan-rekannya. Bahwa penyandang disabilitas harus hidup mandiri. Bahwa penyandang disabilitas bisa berkarya.

Kampanye itu selalu diusung Tarno untuk membantu memberdayakan para difabel di Malang. Dari pengalamannya, problem yang dialami difabel bukan hanya keterbatasan akses dan fasilitas di ruang publik. Masalah sering bermula dari keluarga penyandang disabilitas itu sendiri.

Orang tua, misalnya, sering memandang anak difabel lemah dan tidak berdaya. Akibatnya, anak difabel bagaikan ’’terpasung’’ dalam rumah. Tidak boleh keluar ke mana-mana. ’’Kalau ada orang atau teman yang mengajak penyandang disabilitas keluar, orangtuanya takut anaknya sakit atau jatuh di jalan. Padahal, untuk tunadaksa, latihan gerak itu penting guna melatih otot,’’ ungkap Tarno.

Dalam beberapa kasus, kekhawatiran yang berlebihan tersebut berlangsung bertahun-tahun hingga si anak difabel itu dewasa. Akibatnya, selama puluhan tahun, banyak penyandang disabilitas yang hanya berdiam diri di rumah. Fisiknya tidak aktif, seperti orang lunglai.

Hal itu bisa membuat mereka stres. Sama dengan orang nondifabel, kalau mentalnya sudah sangat tertekan, difabel terkadang bisa melukai dirinya sendiri. Misalnya, mencekik leher atau membentur-benturkan kepalanya ke dinding.

Melalui DC2, Tarno berusaha mengajak keluarga digabel untuk yakin bahwa difabel bisa hidup mandiri. ’’Kalau orang tua difabel itu meninggal, kepada siapa mereka bergantung? Mungkin ada saudara. Tapi, kalau saudaranya itu menikah dan punya kehidupan sendiri, pasti akan beda juga perhatiannya,’’ ujar ayah satu anak itu.

Penyandang disabilitas membutuhkan dukungan dan kepercayaan dari keluarga. Memberikan pengertian kepada keluarga inilah, menurut Tarno, yang gampang-gampang susah. Untuk itu, anggota DC2 tak cukup hanya memberikan edukasi kepada penyandang disabilitas dan keluarga mereka.

Terkadang, mereka juga bersedia memberikan tumpangan gratis bagi para difabel. Setiap kali ada pertemuan, anggota DC2 yang sudah memiliki SIM D (SIM untuk pengemudi khusus) rela menjemput teman difabel yang lain. Itu dilakukan untuk memudahkan rekan sesama difabel untuk mengikuti pertemuan komunitas. Juga, keluarga difabel itu percaya bahwa anaknya mempunyai teman-teman sesama difabel yang care dan giat beraktivitas.

Dwi Lindawati salah satu pengurus DC2 yang sering menjemput teman-temannya sesama difabel. Dengan motor roda tiga miliknya, kadang dia mengantar rekan difabel yang lain untuk menghadiri kegiatan komunitas. ’’Ya, harus berkorban memang,’’ ungkap pemilik tubuh kerdil (dwarfism) itu.

Linda aktif membina berbagai event yang memberdayakan difabel. Misalnya, fashion show, pentas anak difabel, hingga membina acara Linda Show yang digelar Jawa Pos Radar Malang.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X