Oleh: Bambang Iswanto
(Dosen IAIN Samarinda)
Orang kaya berkurban, sudah biasa. Orang yang hidupnya pas-pasan, apalagi profesinya pemulung, berkurban, ini baru luar biasa. Inilah yang terjadi di beberapa tempat di Tanah Air. Misalnya kisah Mak Yati, pemulung yang tinggal di seputaran Tebet Jakarta. Yang berkurban dua kambing gemuk.
Perempuan 59 tahun yang sering mampir ke masjid tersebut harus menabung selama tiga tahun agar bisa membeli kambing besar untuk dikurbankan. Pengais barang-barang bekas itu bersikeras “memaksakan” diri menabung Rp 25 ribu sehari untuk bisa mewujudkan niatnya.
Pengurus sempat kaget saat menerima kedatangan Mak Yati. Membawa kambing dengan bajaj untuk diserahkan kepada panitia. Wajar panitia heran karena masyarakat sekitar masjid mengenal Mak Yati berprofesi sebagai pemulung.
“Pengin sekali seumur hidup bisa membagikan daging kurban, tidak mengantre terus mendapatkan jatah daging kurban. Syukur-syukur bisa lebih dari sekali,” katanya saat menyerahkan kambing.
Ada pula kisah pemulung lain, Mbah Sahati. Yang harus berjuang keras menabung tujuh tahun untuk mewujudkan niat berkurban.
Penggalan kisah orang tidak mampu lain dilakoni Yu Timah. Perempuan tua penjual nasi bungkus di Kebumen. Tinggal di rumah berdinding bambu dan lantai tanah itu juga berhasil melaksanakan niat mulia berkurban. Setelah sekian lama mengumpulkan uang.
Masih banyak kisah lain yang tak terungkap, tentang orang-orang yang tidak memiliki harta memadai, tetapi bisa merealisasikan keinginan mulia mereka. Keinginan mulia yang berbingkai ibadah, sejatinya bukanlah kaveling ibadah mereka.
Tidak ada kewajiban dalam agama untuk berkurban bagi yang tidak mampu. Kewajiban ini hanya untuk orang-orang yang memiliki kelebihan harta. Tentu tidak mudah bagi mereka untuk bisa “merebut” wilayah ibadah ini. Mereka harus lebih mengencangkan ikat pinggang yang sudah kencang.
Semua dijalani dalam rangka bukan untuk mencari popularitas. Mereka tidak akrab, bahkan mungkin tidak kenal dengan media sosial yang berfungsi memviralkan perbuatan mereka. Alih-alih berpikir untuk terkenal, waktu mereka habis memikirkan dan bekerja untuk mempertahankan hidup.
Dalam kesulitan hidup seperti itu, mereka masih sempat memikirkan bagaimana bisa berkurban. Mungkin mereka tidak tahu makna kurban secara istilah dan syar’i. Tetapi, apa yang mereka lakukan adalah tujuan dan hakikat dari ibadah kurban.
Mereka ingin mendekatkan diri dengan Tuhan dengan cara berbagi daging kurban kepada orang lain. Kepada orang tidak mampu lainnya seperti mereka sendiri atau kepada orang lain yang berhak. Cara mendekatkan diri yang tidak mudah karena harus lebih menyusahkan hidup. Mereka harus bekerja lebih keras dan mengurangi jatah biaya hidup, karena harus menyisihkan sebagian harta yang sesungguhnya masih kurang.
HARUS MALU
Pelaksanaan ibadah yang terkait harta, jika dilakukan oleh orang yang tidak memiliki kelebihan harta, sesungguhnya bukan anomali ibadah. Banyak rekomendasi dari Allah, yang dalam bahasa fikih disebut sunah, untuk menginfakkan harta bagi yang tidak memiliki kelebihan harta.