Aroma tetangga menyengat di beranda. Mulai bahasa hingga cita rasa.
DUITO SUSANTO, Krayan
IRAMA Melayu mendayu-dayu dari pengeras suara pemutar musik kecil. Yang serupa kotak sabun. Dari atas karpet tipis, lantunannya menggema mengisi sudut-sudut ruang berjelaga. Tusukan sinar mentari membuat Sara bergegas meninggalkan pembaringan, pagi itu, Selasa (9/7).
Perempuan itu sebenarnya terlahir dengan nama Leksiana. Perantauan memetamorfosa sapaannya menjadi Sara. Pada usia yang melewati 31, dia memilih meninggalkan pekerjaan yang digeluti sejak 2003; juru masak. Di kedai makan di Malaysia.
Dia memutuskan berlabuh di bangunan kayu tua. Sebagai pembuat garam. Yang kondang dikenal sebagai garam Krayan. Yang berasal dari sumur. Di kaki gunung, bukan dari laut. Di Desa Long Midang, Kecamatan Krayan, Nunukan. Tak sampai lima menit ke patok perbatasan dengan negeri jiran Malaysia.
Di antara tungku-tungku yang panas sepanjang hari, Sara mulai hilir mudik. Menata lagi kayu-kayu bakar yang mulai menjauh dari jilatan api semalam. Mengisi air di tiga wajan; dari drum yang dibelah dua, yang berjejer di atas tungku. Dua wajan menjadi tempat memanaskan air. Dua puluh empat jam sehari. Tujuh hari seminggu. Empat minggu sebulan. Diusahakan sepanjang waktu.
Kemudian sedikit demi sedikit air panas dipindahkan ke wajan di tengah. Yang harus lebih panas dari dua wajan pengapitnya. Di tempat itulah air mengkristal. Menjadi bubuk-bubuk halus garam. Masih basah. Dipindahkan ke tempat penampungan. Proses sederhana itu diakhiri dengan pengeringan di bawah terik matahari.
Sara bekerja bersama suaminya; Riyau. Dia disunting pria 39 tahun itu pada 2011. Saat sama-sama masih menjadi TKI. Sara bekerja di kedai penjaja makanan. Riyau mengais rezeki sebagai mekanik. Di Miri, Malaysia.
Sejak membangun bahtera rumah tangga, keduanya memutuskan pulang kampung ke Krayan. Orangtua Riyau berasal dari Lembudud, Krayan Barat. Pasangan itu lantas membuka warung makan. Di Long Bawan. Sekitar satu jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dari Long Midang.
Namun, penghasilan tak menentu. Mereka memilih banting setir menjadi pengolah garam. “Orang datang (ke warung makan) cuma saat mau makan siang. Sedikit sekali,” tutur Sara dengan dialek Melayu. Bahasa tetangga sangat terasa di beranda negara itu. Banyak frasa yang dituturkan dengan rasa Malaysia. “Hasilnya lebih bagus di sini (bikin garam),” tambah perempuan kelahiran Kabupaten Landak, Kalbar.
Di bangunan kayu berukuran sekitar 12x8 meter itu, Sara dan suami berbagi tempat dengan pekerja garam lainnya; Jefri dan istri. Ada sungai kecil, lebih tampak seperti kali, di samping bangunan itu. Berjarak sekitar 5 meter. Airnya tawar. Seperti umumnya air sungai.
Di antara bangunan dan sungai itu dibuat sumur. Dua buah. Satu sama lain terpisah sekitar 8 meter. Berdiameter sekitar 1 meter. Kedalamannya 6 meter. Ajaibnya, airnya asin. Bahan baku utama pembuatan garam. “Kita juga heran, kok ada air asin dari sumur. Mungkin anugerah Tuhan,” sebut dia.
Air dari sumur itulah yang ditimba Sara. Dipindahkan ke wajan-wajan di atas tungku memanjang. “Kalau kami tak kuat memasak (mengolah garam), air sumurnya penuh,” tutur dia.