Dorong India Jadi Pasar Baru CPO

- Selasa, 30 Juli 2019 | 11:46 WIB

SAMARINDA- Banyaknya tekanan dari Uni Eropa membuat Indonesia harus pintar mencari peluang pasar baru untuk menjaga kinerja ekspor minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil (CPO). Salah satunya India. Negara ini memiliki kebutuhan yang cukup besar dan berpeluang menjadi pasar baru, khususnya CPO asal Kaltim.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammad Sjah Djafar, tekanan dari Eropa memang tidak bisa didiamkan. Namun sambil menunggu redanya kampanye negatif, Indonesia harus pintar ekspansi ekspor CPO.

Saat ini, Indonesia harus bisa melobi India untuk memangkas bea masuk (BM) minyak sawit nasional. Langkah tersebut harus dilakukan karena Pemerintah Indonesia telah menurunkan BM gula mentah (raw sugar) asal India, melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 96 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas PMK No 27 Tahun 2017 tentang Penetapan Tarif BM dalam Rangka ASEAN-India Free Trade Area (AIFTA).

"Jika BM crude palm oil (CPO) yang saat ini menyentuh 50 persen bisa menurun maka kinerja ekspor Kaltim turut akan terdongkrak," ujarnya.

Dia menjelaskan, BM atas impor raw sugar dari India menjadi 5 persen dari sebelumnya berlaku tarif BM 10 persen. Kebijakan Indonesia ini bisa membuat BM ke India juga longgar. Saat ini, India memberlakukan BM sebesar 45 persen untuk produk turunan minyak sawit dari Malaysia, sedangkan dari Indonesia sebesar 50 persen. "Kalau BM CPO menurun, India bisa jadi pasar baru CPO kita," katanya.

Menurutnya, ekspor ke India mencapai puncak pada 2017 sebesar 7,63 juta ton atau melonjak dari 2016 yang tercatat 5,78 juta ton. Namun pada 2018, ekspor minyak sawit Indonesia ke India anjlok hingga menjadi 6,71 juta ton. Sepanjang Januari-Maret 2019, ekspor sawit ke India sebanyak 1,32 juta ton atau justru di bawah Uni Eropa (UE) yang mencatatkan impor minyak sawit asal Indonesia sebanyak 1,41 juta ton pada periode sama.

Pada 2018, sepanjang Januari-Maret, ekspor ke India tercatat sebanyak 1,45 juta ton dan ke UE sebanyak 1,20 juta ton. “Di Kaltim pada triwulan pertama tahun ini ekspor CPO Kaltim tumbuh 57,42 persen (yoy). Jika pasar baru ke India bisa berlangsung, otomatis kinerja kita di Kaltim juga akan meningkat," pungkasnya.

Diketahui, produk minyak sawit asal Indonesia kembali mendapat hambatan dagang dari Uni Eropa. Kali ini mereka melayangkan proposal pengenaan bea masuk 8-18 persen untuk produk biodiesel asal Indonesia.

Direktur Pengamanan Perdagangan Kemendag Pradnyawati menyatakan, pengenaan bea masuk dengan margin sebesar itu patut ditengarai sebagai strategi yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dari Uni Eropa. Tujuannya, mencegah masuknya produk biodiesel dari Indonesia. ”Intinya mereka enggak mau minyak nabati yang dihasilkan di Eropa tersaingi produk Asia atau negara tropis,” ujar Pradnyawati, Senin (29/7).

Kemendag menganggap kebijakan itu sengaja dibuat Uni Eropa lantaran CPO olahan Indonesia lebih kompetitif daripada minyak nabati produksi Eropa yang berasal dari kedelai atau biji bunga matahari. ”Kita digempur dari berbagai arah dan dengan berbagai instrumen yang semuanya itu legal menurut WTO (World Trade Organization),” tambahnya.

Rencana pengenaan bea masuk 8-18 persen untuk biodiesel Indonesia mulai berlaku 6 September 2019. Regulasi tersebut baru berlaku secara definitif pada Januari 2020. Sebelum 2019, jumlah ekspor biodiesel Indonesia ke Uni Eropa tercatat terus meningkat tajam. Berdasar data Kemendag, Indonesia berhasil mengantongi pendapatan USD 116,7 juta pada 2017 dan membesar hingga USD 532,5 juta pada 2018.

Pradnyawati berkesimpulan, proposal bea masuk itu sebenarnya merupakan ancaman kali ke sekian yang dilakukan Uni Eropa untuk menghambat akses pasar produk Indonesia. Pada Desember 2018, European Commission (EC) pernah menginisiasi penyelidikan antisubsidi terhadap biodiesel asal Indonesia.

”Indonesia diklaim memberikan suatu bentuk fasilitas subsidi yang melanggar ketentuan WTO kepada eksportir biodiesel sehingga memengaruhi harga ekspor biodiesel ke Uni Eropa,” bebernya. Proposal itu membutuhkan tanggapan lebih lanjut dari pihak Indonesia. Saat ini perusahaan biodiesel Indonesia diberi waktu tiga hari untuk menyampaikan tanggapan. Pemerintah juga akan menyampaikan tanggapan setelah dikeluarkannya dokumen preliminary determination secara resmi. (*/ctr/ndu2/k15)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

BPJS Ketenagakerjaan Perkuat Kerja Sama dengan SRC

Jumat, 29 Maret 2024 | 14:49 WIB

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB
X