Pendakian Gunung Karst Sekerat

- Kamis, 25 Juli 2019 | 12:11 WIB

MALAM berlalu cepat, matahari segera menyapa. Dirhan sudah terjaga lebih dulu, pun demikian dengan Labong yang sibuk berburu momen mentari terbit di tepi Pantai Sekerat. Sementara Yuda, Destry, dan Michael masih terlelap. Dirhan segera membangunkan Yuda. Setelah mempersiapkan perlengkapan, ketiganya bersiap mendaki. Masing-masing membawa ransel yang berisikan peralatan masak, makanan, pakaian, hingga ragam perangkat kamera.

Kamis (9/5) pukul 05.45 Wita, Tim Ekspedisi Kaltim Post segera masuk ke hutan.

Sisa-sisa halimun tampak menyelimuti pepohonan, memagari pegunungan, membuat hutan karst benar-benar basah kala pendakian. Waspada selalu jadi utama terlebih saat mendaki tanjakan pertama, tanah dan batuan kecil.

Dari kiri dan kanan, suara burung-burung hutan bersahutan dibalut dengan bunyi tonggeret dan jangkrik. Demikian dengan udaranya begitu segar tatkala menarik napas. Senyum semringah selalu melingkar di wajah Dirhan. Suasana itu sangat kontras dengan bising kota, debu, dan asapnya. “Coba tarik napas, Yud. Segar ‘kan. Enggak menyesal kita ke sini,” pintanya sambil merapikan ransel di pundaknya.

Jalan panjang pendakian berliku membelah rimba lebat, membentang di bawah rindangnya kanopi hutan tropis Sekerat pun menanti. Sepanjang perjalanan, dedaunan hijau ranum, semakin memanjakan mata. Setelah melewati tanjakan pertama, jalur selanjutnya sedikit landai perlahan kemudian menanjak.

Bagian kiri rute pendakian sedikit curam sementara di sisi kanan jalan, terdapat bebatuan karst. Setelah berjalan sekitar 45 menit, pos pertama dicapai. Tempat peristirahatan pertama itu sedikit unik. Sebab, bentuknya sedikit melingkar tidak ada pohon yang tumbuh di sekitarnya. Langit pun terlihat karena tidak ada dedaunan pohon yang menutupi.

Setelah melepas penat selama beberapa menit, pendakian dilanjutkan. Belum 15 menit berjalan dari pos pertama, bulir-bulir hujan jatuh dan membasahi tangan. Padahal, sebelumnya langit tidak terlihat bermuram durja. Langit yang tadinya cerah perlahan-lahan redup. Rute tanjakan pun demikian, lambat laun terasa temaram lantaran tertutup oleh kanopi dedaunan sementara cahaya dari mentari tak ada. Suara hujan seolah memburu dan dalam hitungan menit siap mengguyur tim ekspedisi.

“Sebaiknya kita tidak melanjutkan dulu pendakian. Sepertinya hujannya sangat deras,” saran Labong. Sebenarnya saat itu, pendakian hendak dilanjutkan lantaran banyak pohon yang bisa dipakai sebagai payung darurat. Sialnya, ketika itu Labong tak membawa mantel tas kamera. “Sebaiknya kita balik. Takutnya kamera di tas basah,” pinta Labong lagi.

Setelah berdiskusi sejenak, dengan berat hati disepakati pendakian tidak dilanjutkan dan kembali ke lokasi kemah. Selain hujan deras, pertimbangan lain ialah ketika menyiapkan peralatan pendakian. Satu benda tertinggal, yakni senter. Padahal, itu adalah senjata ampuh atasi jalur gelap.

Bagaimana tidak, jika berniat teruskan perjalanan bisa dipastikan akan kesulitan karena jalur yang dilalui benar-benar gelap. Di atas jalan setapak itu begitu rimbun dengan semak belukar dan ranting pepohonan. Di sisi kiri jalan, terdapat jurang yang cukup dalam. Belum lagi minimnya pengetahuan hutan karst yang hendak dilalui.

Menuruni bukit memang tidak seletih mendaki. Walau demikian, waspada jadi utama sebab jalan dari tanah akan sangat licin saat bertemu air. Selain hujan yang menghunjam, ketika itu tim ekspedisi juga ditemani oleh angin kencang. Belum lagi gemuruh halilintar yang tak henti-hentinya menegur, lalu dalam hitungan detik petir tiba dengan suaranya yang menggelegar.

Sedikit panik, langkah Labong, Dirhan, dan Yuda memburu. Khawatir dengan kamera tersebut Yuda menawarkan Labong parasut anti-airnya. Sebab, ekspedisi akan sia-sia jika alat penangkap momen tersebut rusak.

Kamera ponsel pintar belum tentu mengambil gambar sempurna. Perjalanan menuruni bukit memakan waktu satu jam. Sedikit lebih lama karena menuruni jalan setapak licin tidak mudah, harus ekstrahati-hati. Apalagi, jurang yang ada di sebelah kanan jalur sudah menganga, siap menerkam kapan saja.

Menit berbilang jam, tim ekspedisi akhirnya keluar dari hutan dan segera menuju tempat kemah tepi pantai. Namun, saat tiba di lokasi, ketiganya terkejut. Mata mereka terbelalak karena tenda yang didirikan semalam roboh dirusak hujan dan angin kencang. Sementara itu, Destry dan Michael tidak ada di tempat, pun demikian dengan mobil. Tak ingin berlama-lama memandang, dalam hitungan menit tenda yang roboh itu dibereskan. Sialnya, kala itu satu tenda terbawa angin.

Di bawah rimbunnya pohon besar, guyuran hujan nyaris tidak terasa. Sepanjang 30 menit, tak banyak yang bisa dilakukan selain mendengar suara hujan atau gemuruh ombak. Tak lama kemudian Michael dan Destry tiba, tergopoh-gopoh keduanya turun dari mobil. “Maaf, tadi kami habis cari air minum,” kata Michael. “Sebaiknya kita langsung mencari rumah warga di dekat sini untuk berteduh sementara waktu,” saran Labong.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X