Oleh: Lili Agustiani, SPd (Pemerhati Masalah Generasi)
Media edukasi pembelajaran yang paling menarik perhatian dan mudah dipahami adalah media audio-visual atau sering kita sebut dengan film. Saat ini menonton film merupakan aktivitas yang dapat dilakukan seluruh kalangan. Sebab film memiliki berbagai peran. Selain sebagai sarana hiburan, film juga dapat berfungsi sebagai media pembelajaran.
Berbicara soal film yang mengandung unsur pendidikan, akan terlintas suatu film yang trending topic atau diminati kalangan remaja saat ini. Terbukti film Dua Garis Biru telah mendapat lebih dari satu juta penonton dalam enam hari penayangan, atau sejak rilis pada Kamis (11/7), demikian seperti dikutip dari Instagram Starvision Plus.
Gina selaku penggarap film ini mengatakan ada pesan penting edukasi seks sedini mungkin kepada anak-anak. Film tersebut juga menjadi wadah berdiskusi tentang pernikahan dini yang masih dianggap tabu di Indonesia.
Sebelum tayang di bioskop, muncul petisi untuk film yang digagas oleh Gerakan Profesionalisme Mahasiswa Keguruan Indonesia (Garagaraguru) di Change.org. Mereka menilai ada beberapa scene di trailer yang menunjukkan situasi pacaran remaja yang melampaui batas. Sejumlah pihak pun menilai film ini “melegalkan kebebasan” dalam berpacaran.
Walau sempat diboikot, film ini tetap tayang di bioskop. Dengan dalih untuk kesehatan reproduksi dimulai sejak dini. Hal yang wajar karena sejatinya asas sistem kapitalisme adalah asas manfaat, meraup keuntungan sebesar-besarnya sekalipun melanggar hukum Allah SWT.
Zaman terus berkembang, tingkat kenakalan remaja pun kian memperihatinkan. Film Dua Garis Biru adalah bukti nyata dari kehidupan sehari-hari generasi baru saat ini. Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (Deputi KSPK) BKKBN M Yani mengatakan, film ini memang menggambarkan fenomena yang benar-benar terjadi di tengah masyarakat, terutama pernikahan dini. Dalam salah satu scene bahkan diceritakan akhir dari risiko kehamilan dini yaitu harus operasi pengangkatan rahim.
Berbagai solusi pun sudah ditawarkan namun tak kunjung berbuah keberhasilan. Mulai kampanye Pusat Informasi dan Konseling (PIK) Remaja sampai edukasi seks lewat film, namun ternyata dari hari ke hari, tahun ke tahun justru semakin menampakkan rusaknya remaja. Padahal solusi yang ada untuk mengurangi masalah di kalangan remaja.
Seharusnya peraturan dibuat untuk mengurangi tingkat permasalahan, namun mengapa sampai saat ini justru masalah itu semakin bertambah dan meluas seperti sulit untuk dibendung. Siapa yang salah?
Penulis menilai, semua permasalahan yang muncul adalah akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme. Cara pandang terhadap masalah remaja yang keliru. Mereka menilai, hancurnya masa depan remaja karena ketidakpahaman terhadap kesehatan reproduksi. Edukasi tentang ini pun dibuat sedemikian rupa.
Padahal akar masalah kerusakan moral remaja bukan karena tidak paham. Tetapi penerapan sistem liberalisme yang mengagungkan kebebasan berperilaku dan hanya mementingkan keuntungan semata. Akibatnya remaja gaul bebas tanpa memedulikan halal dan haram.
Permasalahan ini pun semakin buruk, mayoritas kaum muslimin meninggalkan peraturan yang bersumber dari Sang Pencipta. Dikutip dari Wikipedia.orgkesehatan produksi yang selama ini dielu-elukan justru berasal dari dunia barat. Dalam kerangka definisi kesehatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai keadaan kesejahteraan fisik, mental dan sosial yang lengkap, bukan hanya tidak adanya penyakit atau kelemahan, kesehatan reproduksi, atau kesehatan/kebersihan seksual, alamat proses reproduksi, fungsi dan sistem di semua tahap kehidupan.
Badan-badan PBB mengklaim kesehatan seksual dan reproduksi mencakup kesehatan fisik, psikologis, dan seksualitas. Kesehatan reproduksi menyiratkan bahwa orang dapat memiliki kehidupan seks yang bertanggung jawab, memuaskan dan lebih aman dan bahwa mereka memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan kebebasan untuk memutuskan apakah, kapan dan seberapa sering melakukannya.