JAKARTA – Kasus perkawinan di bawah umur masih menghantui anak-anak. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Secara global, PBB mencatat 37 ribu hingga 39 ribu anak menikah perharinya. Sementara itu data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) satu dari sembilan perempuan di usia 20-24 tahun pernah melakukan pernikahan dibawah usia 18 tahun.
Sekretaris Cabang Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Bogor Mega Puspita Sari menyatakan Indonesia menjadi negara ke tujuh di dunia yang terbanyak dalam melakukan pernikahan anak. Di Asean, Indonesia menempati rangking ke dua setelah Kamboja. ”Jabar, Jatim, dan Banten menjadi penyumbang angka perkawinan anak,” tuturnya kemarin (23/7).
Menurut data BPS Jawa Timur pada 2018, 20,73 persen perempuan pernah menikah di usia antara 10-17 tahun. 26,04 persennya pernikahaan dibawah 17 tahun dilakukan di pedesaan. Hanya13,28 persen perempuan di Jatim yang melaksanakan
perkawinan pertamanya pada usia 25 tahun ke atas.
Menurutnya, perkawinan dini ini merugikan perempuan. Dari sisi kesehatan, menurut Mega, perempuan usia anak belum siap organ reproduksinya. Sehingga ketika harus hamil maka akan berisiko pada kesehatan ibu dan anak. ”Perempuan juga tidak bisa melanjutkan sekolah. Apalagi ada paradigma bahwa perempuan harus mengurus rumah tangga,” bebernya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Rita Pranawati menuturkan, perkawinan anak merupakan masalah yang belum terselesaikan. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), tercatat 11,2 persen dari 79,6 juta anak di Indonesia sudah menikah sebelum usia 18 tahun.
"Hampir 1 dari 9 anak mengalami perkawinan di usia anak," kata Rita di kantornya kemarin.
Mayoritas, lanjut dia, perkawinan tidak tidak terjadi di peradilan alias siri. Tidak tercatat dalam dokumen negara. Banyak faktor yang mempengaruhi langgengnya perkawinana di usia anak. Di antaranya, budaya masyarakat setempat dan tingkat pendidikan.
"KPAI berharap rancangan undang-undang perkawinan itu bisa selesai sebelum kabinet yang baru," tandasnya.
Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny R Rosalin menyatakan perkawinan anak merupakan pelanggaran hak anak. Hal itu dikarenakan perkawinan anak berdampak negatif pada anak. ”Harus dicegah,” ucapnya.
Menurutnya pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah intervensi untuk mengurangi pernikahan anak. Pada sektor keluarga, terdapat pusat pembelajaran keluarga. Diharapkan dari sini terdapat pola pikir untuk mencegah perkawinan anak. Dalam lingkup yang lebih besar terdapat sekolah ramah anak dan kota layak anak. Dengan demikian hak anak terpenuhi. ”Dalam pencegahannya tidak hanya pemerintah namun juga mengandeng swasta dan masyarakat,” uajrnya. (han/lyn)