Insentif Fiskal Harus Didukung Moneter

- Selasa, 23 Juli 2019 | 11:12 WIB

PROPERTI diharapkan bisa menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi. Hal itu terlihat dari banyaknya insentif fiskal yang diberikan pemerintah pada sektor tersebut tahun ini. Misalnya, keringanan pajak untuk properti mewah serta kenaikan threshold harga rumah yang dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) untuk rumah sederhana.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menyatakan, properti adalah sektor ekonomi yang dapat memberikan dampak yang cepat terhadap pertumbuhan. Hal itu yang membuat pemerintah terus berdiskusi dengan pengembang mengenai apa saja insentif yang dibutuhkan industri. Dengan adanya insentif, sektor properti bisa tumbuh lebih menggeliat.

“Tetapi, kita juga tidak bisa memberi keringanan dari sisi fiskal saja. Dari sisi moneter, juga harus ada dorongan untuk itu, dan dari sisi pembiayaan yang langsung menyentuh konsumen, itu juga akan ikut membantu. Dari OJK dan BI juga ikut mendorong,” katanya. Penurunan suku bunga acuan ke level 5,75 persen diharapkan semakin menambah minat dan kemampuan konsumen untuk membeli properti.

Selain itu, mendorong kemampuan pengembang untuk ekspansi usaha. Dengan insentif-insentif fiskal yang telah diberikan pemerintah sebelumnya, pengembang dapat lebih leluasa memutuskan rencana ekspansi dan kegiatan usahanya. Hal tersebut juga baik untuk multiplier effect-nya.

Sebab, multiplier effect properti akan merambah ke sektor lainnya. Misalnya, penjualan semen, perdagangan alat bangunan, upah buruh bangunan, dan lain-lain. “Itu sebabnya kami mau properti ini bisa mengangkat pertumbuhan dari banyak sisi,” lanjut Suahasil.

Ekonom BNI Kiryanto mengungkapkan, sektor properti akan tumbuh dan menjadi andalan pembiayaan perbankan. Pengembang juga akan lebih berani mengajukan pembiayaan setelah melihat perubahan suku bunga acuan. “Investasi di properti juga akan lebih baik,” ucapnya.

Di bagian lain, pemerintah juga masih berjuang keras untuk melepaskan diri dari neraca dagang yang defisit. Angka defisit neraca perdagangan 2018 yang mencapai USD 8,7 miliar adalah yang terbesar sejak Indonesia merdeka. Defisit neraca dagang juga terus berlanjut dengan catatan USD 1,94 miliar pada paro pertama tahun ini.

Menko Perekonomian Darmin Nasution menyatakan, pemerintah sudah melakukan berbagai upaya untuk mendorong ekspor maupun menekan impor. Namun, hal tersebut tentu butuh waktu yang tak sebentar. Apalagi, pelaku usaha juga masih aktif melakukan bisnisnya sehingga risiko kenaikan impor tak terelakkan.

“Sebenarnya mereka beli bahan baku dan lain-lain, itu tanda-tanda ekonomi kita masih tumbuh. Tapi, ya, memang dampaknya akan susah di neracanya,” jelasnya.

Kondisi manufaktur yang belum menjadi barang utama pendongkrak ekspor juga menjadi salah satu kelemahan Indonesia. Indonesia lebih banyak bertumpu pada ekspor komoditas. Hal tersebut turut memengaruhi nilai ekspor Indonesia.

Indonesia sendiri mengalami penurunan ekspor 8,57 persen secara year-on-year (YoY) sepanjang semester I 2019 menjadi USD 80,32 miliar. Selanjutnya, impor turun 7,63 persen (YoY) menjadi USD 82,26 miliar. Hal itu turut dipengaruhi faktor perang dagang yang sudah terjadi sejak tahun lalu. Geliat perdagangan terpengaruh sehingga tiap-tiap negara berjuang keras untuk menjaga pertumbuhan ekonominya. (rin/jpg/ndu)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Kontribusi BUM Desa di Kalbar Masih Minim

Kamis, 25 April 2024 | 13:30 WIB

Pabrik Rumput Laut di Muara Badak Rampung Desember

Senin, 22 April 2024 | 17:30 WIB
X