Evi Apita Maya, Caleg DPD yang Dituduh Terlalu Cantik di Surat Suara

- Jumat, 19 Juli 2019 | 10:18 WIB

Perolehan suara caleg DPD asal Provinsi Nusa Tenggara Barat Evi Apita Maya disengketakan ke Mahkamah Konstitusi. Wajahnya dituding terlalu cantik lantaran editan yang berlebihan. Evi menganggap tudingan itu konyol. Dia yakin kasus tak akan berlanjut.

 

BAYU PUTRA, Jakarta

 

JARUM jam menunjuk angka 13.35 ketika Evi tiba di lobi gedung MK kemarin (18/7). Bersama sang kakak, Antoni Amir, Evi menuju lift. Keduanya menuju ruang sidang panel 3 di lantai 4. Kami sempat berkenalan sejenak sebelum dia masuk ke ruang sidang. Tak berapa lama, tiga hakim panel hadir menandakan sidang dimulai.

Evi mengenakan setelan baju kurung biru navy dan bawahan jarit bercorak hitam putih. Tanda pengenal bertulisan tamu dikalungkan di leher. Kerudung cokelat menutup rambutnya. Wajahnya segar dengan sapuan blush on pink dan lipstik merah di bibir.

Evi hadir sebagai prinsipal pihak terkait sengketa hasil pileg yang diajukan caleg DPD Farouk Muhammad. Dalam permohonannya, salah satu hal yang didalilkan Farid adalah Evi disebut mengedit pas foto di luar batas kewajaran atau setidaknya mengubah identitas diri. Misalnya, bagian dagu, hidung, mata, warna kulit, dan struktur tubuh.

Dampak foto editan itu, menurut Farouk, banyak masyarakat yang memilih Evi sehingga mendapat suara terbanyak dalam pemungutan suara pileg 17 April lalu di DPD Provinsi Nusa Tenggara Barat. Evi memperoleh suara 283.932, tertinggi di antara semua calon. Sementara itu, Farouk mendapat 188.687 suara dan berada di urutan kelima. Farouk gagal lolos menjadi anggota DPD. Suara dia dan Evi berselisih 95.245.

Gugatan Farouk menjadi viral. Belum pernah ada selama ini, kemenangan seorang dalam pemilu digugat karena foto di surat suara dituding diedit di luar batas kewajaran. Memang, ada dalil lain yang menyertai tudingan itu, seperti dugaan penggunaan politik uang. Namun, tetap saja dalil foto editan tersebut paling menarik perhatian.

Sepanjang sidang, Evi sama sekali tidak berbicara. Kuasa hukumnya, D.A. Malik, yang mewakili membacakan keterangan. Seusai sidang, dia hanya mengungkapkan optimismenya atas kasus tersebut. ’’Hakulyakin (permohonan ditolak, Red),’’ ucap perempuan kelahiran 17 November 1973 itu.

Bagi Evi, gugatan tersebut sebetulnya cenderung merendahkan dirinya sebagai perempuan. ’’Saya sebagai perempuan dikatakan seperti itu sebetulnya harga diri saya diinjak-injak,’’ tuturnya. Tudingan mengedit di luar kewajaran demi suara pemilih tersebut, menurut dia, konyol.

Ada sekelumit cerita di balik pembuatan foto itu. Yang sekaligus membantah tudingan bahwa foto tersebut diambil lebih dari enam bulan sebelum pencalonan. Justru, ibu tiga anak itu nyaris gagal menyerahkan foto tersebut. Saat dia hendak ke studio untuk foto, di Lombok terjadi gempa. Alhasil, studio foto tutup.

Kepada KPU, dia meminta waktu sampai studio kembali buka. KPU memberikan kesempatan sampai sebelum penetapan DCT pada 20 September 2018. Belakangan dia mengetahui kalau ada caleg lain yang lebih terlambat menyerahkan foto ketimbang dia.

Akhirnya, KPU meloloskan 27 caleg DPD, termasuk Evi. Dia mendapat nomor urut 26. Dia yakin lolosnya para caleg itu sudah didasarkan pada peraturan yang berlaku. Tidak ada yang dilanggar. Syaratnya pun tergolong berat. Sebab, caleg DPD juga harus menyerahkan bukti dukungan berupa fotokopi KTP.

Setelah penetapan calon, sampailah Evi pada tahap praproduksi logistik surat suara. Di situ semua peserta menunjuk liaison officer (LO, narahubung) untuk memberikan persetujuan akhir sebelum surat suara dicetak.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB
X