Medan juang ini terasa berbeda. Penegasan kebanggaan di ujung negeri.
SENJA turun di punggung bukit. Aroma khas singkong goreng mengapung bersama udara dingin. Di bawah pondok kecil beratap terpal. Bersanding dengan teh manis, yang uap panasnya baru beranjak meninggalkan gelas plastik. Kawan karib penghangat suasana.
Di bawah temaram senja, hujan mengguyur Pos Tanjung Karya. Sebuah kamp pengamanan perbatasan milik TNI di Krayan, Nunukan, Kaltara. Dihuni 20 prajurit dari Yonif Raiders 613/Raja Alam. Posisinya di ketinggian. Dikelilingi rerimbunan hijau hutan. Dua kilometer dari tapal batas dengan Malaysia. Melalui jalan setapak menanjak.
Dari Bandara Yuvai Semaring di Long Bawan, Krayan, pos itu bisa dijangkau dengan mobil. Plus berjalan kaki. Harus menumpang mobil bergardan ganda. Melalui jalan-jalan tanah yang dikeraskan. Yang lahir dari hasil memapas bukit. Yang bopeng di sana-sini. Yang serbasalah; hujan berlumpur, panas berdebu.
Jalan rusak di pedalaman dan perbatasan sudah menjadi makanan hari-hari. (SAIFUL ANWAR)
Satu jam perjalanan dengan mobil, yang lebih terasa seperti menunggang kuda, tiba di Desa Pabutal, Krayan Barat. Satu di antara empat desa di lokasi Tanjung Karya. Desa lainnya; Padelung, Paurut, dan Pakemut.
Mobil berakhir di mulut jembatan. Kecil. Dari kayu. Terlalu sempit untuk kendaraan roda empat. Terlalu rapuh menyangga beban berat. Panjangnya kurang dari 10 meter. Menjulur di atas saluran irigasi. Dinaungi atap daun nipah.
Perjalanan kami lanjutkan dengan berjalan kaki. Saya bersama empat lainnya. Tiga di antaranya prajurit. Beradu lincah di pematang sawah. Yang dalam masa pemulihan. Tak ada aktivitas. Dipenuhi air, yang konon di beberapa titik mencapai pinggang orang dewasa.
Bukit-bukit memunggungi sawah-sawah itu. Terkadang kami mesti melewati rintangan berupa pagar kawat berduri. Setinggi perut. Atau paha atas. Atau pagar bambu dan kayu. Yang berfungsi untuk mengurung kerbau. Saat masa rehat seperti ini, warga memasukkan kerbau ke sawah. Dibiarkan mandi dan bermain di sana. Pembajakan alami.
Jalan setapak kian menanjak. Landai, terjal, silih berganti. Seperti berirama. Serupa suara jangkrik sahut-menyahut. Pertanda senja segera tiba. Sekitar 45 menit berpacu dengan mentari yang segera tenggelam di balik bukit. Hujan rintik diam-diam. Kian lama kian deras. Dan tumpah di gapura bambu bercat merah-putih.
Pos itu berada di ketinggian sekitar 1.000 meter di atas permukaan laut. Kerap dibekap cuaca dingin. Mencapai 15-16 derajat Celcius saat malam. Dua kilometer di atasnya, patok perbatasan Indonesia-Malaysia.
Pos Tanjung Karya terdiri dari bangunan-bangunan kayu yang tersebar di lahan sekitar 2 hektare. Paling depan, berdekatan dengan gapura, ada pos jaga. Kemudian surau, barak berisi sepuluh ranjang tingkat dua, tempat mandi, cuci, dan kakus (MCK) empat pintu, ruang data, dapur berserambi plus meja makan panjang, serta menara pantau di sisi paling atas.
Aneka tanaman, didominasi sayur-mayur, menjejali tempat yang tersisa di antara bangunan-bangunan itu. Singkong, cabai, tomat, pepaya, nanas, tebu, daun bawang, labu, dan bebungaan. “Hiburannya berkebun, Mas,” ujar Komandan Pos Tanjung Karya Lettu Ckm Darmawan. Mereka juga beternak. ”Itu ayamnya untuk dipotong pas mau pulang,” timpal prajurit lainnya sembari tertawa menunjuk peliharaan.
Keperluan mandi dan minum terpenuhi dengan menampung air gunung di embung. Dialirkan dengan selang kecil menuju pos. Diwadahi dua tandon yang masing-masing berkapasitas 1.300 liter.