Prioritaskan Hujan Buatan di Lumbung Padi Nasional

- Rabu, 17 Juli 2019 | 11:10 WIB

JAKARTA – Pemerintah memilih opsi menerapkan teknologi modifikasi cuaca untuk menciptakan hujan buatan sebagai solusi mengatasi kekeringan. Prioritasnya adalah daerah-daerah lumbung padi nasional. Teknik membuat hujan buatan itu akan efektif jika kondisi atmosfer ideal. Dalam arti masih terdapat awan potensial.

”Pada masa menjelang puncak musim kemarau ini, keberadaan awan-awan tersebut sulit ditemukan. Sehingga membuat hujan buatan dengan teknik modifikasi cuaca akan sulit,” terang Kepala Bidang Pelayanan Teknologi Modifikasi Cuaca Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutrisno kepada Jawa Pos kemarin (16/7).

Karena itu, BPPT membutuhkan prediksi iklim dan cuaca yang akurat. Itu berguna untuk melihat dinamika atmosfer yang memungkinkan terbentuknya awan. Dengan demikian, hasilnya akan lebih efektif.

Daerah lumbung padi, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, menjadi prioritas penerapan teknologi modifikasi cuaca. Berdasar data Badan Pusat Statistik 2018, Jatim memproduksi 9,3 juta ton padi dalam setahun. Diikuti Jateng dan Jabar. Yang masing-masing mampu menghasilkan 8,8 juta ton dan 8,1 juta ton padi sepanjang tahun lalu.

Hujan buatan juga akan diterapkan di Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Di dua provinsi terakhir bahkan hampir seluruh wilayahnya dilanda kekeringan ekstrem.

Terkait dengan kekeringan tersebut, Kementerian Pertanian dituntut untuk memastikan pasokan pangan dan produksi tetap aman. Berdasar data Kementan, sekitar 0,28 persen total tanah tanam terkena dampak kekeringan paling parah atau sekitar 20.964 hektare. Dari luas tersebut, 232 hektare merupakan lahan padi. Kementan juga mencatat, sekitar 2,3 juta hektare lahan berpotensi mengering.

Ditjen Tanaman Pangan serta Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan terus memastikan unit-unit irigasi di daerah rawan kekeringan bisa beroperasi maksimal. Dirjen PSP Kementan Sarwo Edhy menjelaskan, setidaknya ada sekitar 4 ribu unit irigasi pompa yang dibangun dan berfungsi sejak 2015. ”Sekarang kami sudah membangun banyak sumber air. Baik sumur dangkal, embung, maupun parit,” jelasnya.

Sementara itu, selain padi, komoditas yang produksinya terdampak musim kemarau adalah cabai. Akibatnya, harga naik. Di sejumlah wilayah harga cabai merangkak naik di kisaran Rp 70 ribu hingga Rp 90 ribu per kilogram.

Ketua Ikatan Pedagang Pasar Indonesia (Ikappi) Abdullah Mansuri mengakui bahwa saat ini pasokan yang diterima pedagang pasar mulai berkurang. ”Kenaikan terjadi di semua jenis. Mulai cabai merah besar, cabai keriting, hingga cabai rawit hijau,” ujar Mansuri. Dia menambahkan, setiap tahun pada Juni sampai Juli memang terjadi kenaikan harga komoditas pasar akibat musim kemarau. (han/deb/agf/c9/fal)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Puncak Arus Balik Sudah Terlewati

Selasa, 16 April 2024 | 13:10 WIB

Temui JK, Pendeta Gilbert Meminta Maaf

Selasa, 16 April 2024 | 10:35 WIB

Berlibur di Pantai, Waspada Gelombang Alun

Senin, 15 April 2024 | 12:40 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Minggu, 14 April 2024 | 07:12 WIB

Kemenkes Minta Publik Waspada Flu Singapura

Sabtu, 13 April 2024 | 15:55 WIB

ORI Soroti Pembatasan Barang

Sabtu, 13 April 2024 | 14:15 WIB
X