Tukang selingkuh, mata duitan, biang kerok, entah apa lagi yang mereka sebutkan tentang saya. Enam tahun setelah berpisah dari Maxi, empat tahun mendampingi Mauro, telinga saya terbiasa dengan kata-kata itu. Bahkan, meski saya agennya saya tak tertarik mengeruk banyak uang dari Mauro. Seperti yang Anda dengar dari tulisan-tulisan media.
Saya bisa saja duduk manis di rumah tanpa melakukan apa-apa. Tapi, itu takkan menjadi contoh yang bagus buat anak-anak kami. Selain itu, pilihan terakhir tetap saya serahkan kepada Mauro. Dia yang meminta saya menjadi agennya, seterusnya. Andai dia meminta saya berhenti, saya akan berhenti.
Lagipula, saya tak pernah punya pengalaman jadi agen ataupun manajer. Selama berkarir di dunia hiburan, saya menegosiasikan kontrak saya sendiri. Saya juga yang jadi manajer untuk adik saya Zaira. Saya bisa menjadi seperti ini sebab saya pernah belajar hukum dan manajemen bisnis. Saat kehamilan pertama saya masih bergelut dengan dunia itu.
Meski, baru bersama Mauro saya lebih tahu sepak bola. Saya sendiri kaget saat saya bisa bicara tentang sepak bola. Mungkin ini sedikit seksis, karena tak banyak wanita yang menjalani tanggung jawab seperti saya. Sebagai agen, saya tak mengharapkan perlakukan seperti ini. Saya pikir, mereka berprasangka buruk kepada saya karena saya wanita.
Termasuk apa saya mengkhianati Maxi demi Mauro. Tidak. Mauro merayuku setelah tak ada lagi hubungan antara saya dengan Maxi. Kami bertemu ketika saya kembali ke Milan untuk merampungkan beberapa dokumen sebelum saya pulang lagi ke Argentina. Anak-anak saya pun sudah saya daftarkan sekolah di sana.
Mauro menawari mobilnya untuk saya pinjam, memberikan kunci rumahnya untuk saya. Ingat sekali saat dia menawari saya makan malam bareng, kulkasnya kosong. Kami mengunyah pasta yang tersisa. Bukan Mauro yang salah, Maxi-lah yang salah karena mengabaikan saya. Di balik keglamoran hidup saya dengan Maxi, saya menyimpan rasa sakit.
Silakan Anda menyebut saya tukang selingkuh. Maradona? Brozo? Saya seorang ibu dan saya hidup untuk anak-anak saya. Saya selalu bersama mereka. Saya harap, paparazzi tidak lagi menulis omong kosong tentang hidup saya. Saya ingin menjalani kehidupan yang normal. Saya ingin merawat anak-anak saya. Jadi, pikirkan dulu sebelum menulis.
Saya cuma bekerja sebagai istri Mauro, ibu dari lima anak kami, Valentino, Constantino, Benedicto, Isabella, dan Francesca. Saya bukan hanya sebagai istri pesepakbola, saya pun ingin mempertahankan kemandirian saya. Asal Anda tahu kehidupan kami sehari-hari membosankan, jauh dari kehidupan orang-orang penting. Anda tak akan pernah melihat kami di diskotik.
Saya mungkin keras kepala dengan memaksa semuanya dari Inter untuk Mauro. Di balik itu semua, saya punya alasan. Perbaruan kontrak Mauro pada 2016 adalah prestasi terbesar saya sebagai istrinya. Sebagai istri, saya pun tahu betapa cintanya Mauro dengan klub ini. Bahkan di saat Francesca lahir, dia tak menitikkan air mata. Tetapi, dia menitikkan air mata begitu melalui kepahitan di klub ini. (ren)