Suka Jalan tapi Tak Suka Belanja

- Senin, 1 Juli 2019 | 10:05 WIB

NYARIS tidak ada orang menolak jika menghasilkan duit seraya menjalankan hobi. Salah satunya, Lailatul hijrah yang sudah tiga tahun menekuni usaha jastip. Perempuan yang akrab disapa Lela itu mengaku bisnisnya diawali dengan sekadar me-review beberapa kue artis yang fenomenal saat itu.

“Dulu itu doyan banget ke luar kota lalu wisata kuliner. Nah, saat itu kue artis baru naik daun, karena kepo akhirnya beli dan review dari segi rasa dan harga di akun sosial media. Rupanya teman-teman pada minta titip belikan. Akhirnya sadar bahwa bisa jadi peluang bisnis,” ucapnya.

Pada awalnya, Lela tidak tahu tentang jastip. Saat belasan kerabat minta tolong titip beli kue, Lela dengan senang hati melakukannya tanpa uang tambahan. Sialnya, saat memutuskan kembali ke Kota Tepian, dia rugi karena menanggung biaya bagasi tambahan.

Pelesiran menjadi hobi perempuan kelahiran 1984 itu. Memulai jastip pada 2016 awal. Membuka jastip brand ternama yang tidak ditemukan di Samarinda. Aneka makanan hingga aksesori perempuan seperti tas dan sepatu. Meski Lela gemar jalan-jalan, perempuan berhijab itu mengaku malah tidak suka berbelanja.

“Sejalan dengan mata kuliah yang saya ampuh mengenai bisnis. Mengajarkan kepada mahasiswa menerapkan ilmu bisnis yang diperoleh di bangku kuliah. Dengan senang hati mempersilakan mahasiswa yang ingin terlibat, entah jadi resseler atau delivery service,” ujar dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul itu.

Usaha jastip tidak selalu untung. Biasanya terkait kondisi barang saat dibawa ke tempat asal. “Beberapa barang rusak dan hilang saat di bagasi pesawat. Meski tidak semua, tapi nyaris setengah dari total 240 kilogram bagasi itu rusak dan hilang,” bebernya.

Pengalaman buruk rupanya tidak membuat Lela kapok atau jera. Mulanya hanya melayani jastip dalam negeri, kini menjangkau beberapa brand ternama luar negeri. “Paling sering Jakarta. Semua kawasan Asia Tenggara sudah, paling sering Malaysia dan Singapura. Saat kemarin lagi booming shafron saya langsung ke Turki untuk memenuhi permintaan pelanggan sekaligus umrah,” imbuhnya.

Jika dari luar negeri, Lela mematok harga Rp 50 ribu per barang. Itu belum termasuk biaya bagasi. Sebab, biaya jastip dan bagasi terpisah. Dia mematok Rp 144 ribu per kilogram dari barang yang dipesan pelanggan.

Jastip juga digandrungi mahasiswa yang kuliah di luar pulau. Faris Naufal Athif contohnya, pria asal Bontang yang kuliah di Jogjakarta. Tarif tiap barang jastip dipatok Rp 10–50 ribu. Bergantung ukuran dan berat barang. Dia menerapkan sistem pre-order atau PO. Bertujuan agar tidak terburu-buru saat mencari barang dan bisa disortir rapi. Khawatir pesanan salah atau overload.

“Per orang keuntungannya sekitar Rp 40 ribu dan setelah seminggu buka usaha jasa titip, dapat Rp 500 ribu,” jelas Faris. “Apapun barangnya asalkan ada di Jogjakarta. Jadi, tidak spesifik satu barang. Ada pakaian, produk skincare, dan aksesori,” lanjutnya.

Meski menikmati keuntungan jastip, Faris beropini jika usaha itu tidak begitu menjanjikan ke depannya. Toko retail juga menjual barang secara online melalui website dan dikirim langsung. Tentu pembeli jauh lebih dimudahkan dengan fitur itu.

Menurut Faris, jastip cocok dilakukan mahasiswa yang baru mengenal usaha. Mendapat pengalaman dan hasil sekaligus tanpa mengeluarkan modal berlebih. Di Jogjakarta, usaha serupa banyak. Namun, dari tempat asalnya yakni Bontang masih sedikit. Dia optimistis mampu bersaing.

“Untuk pemula seperti saya, dalam sehari ada 2–5 pesanan masuk. Pemesan rata-rata dari tempat asal. Tipsnya, usaha itu harus dimulai. Tidak ada salahnya mencoba,” pungkasnya. (*/nul*/ysm*/rdm2/k8)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Raffi-Nagita Dikabarkan Adopsi Bayi Perempuan

Senin, 15 April 2024 | 11:55 WIB

Dapat Pertolongan saat Cium Ka’bah

Senin, 15 April 2024 | 09:07 WIB

Emir Mahira Favoritkan Sambal Goreng Ati

Sabtu, 13 April 2024 | 13:35 WIB
X