Pahami Kemampuan Anak

- Senin, 1 Juli 2019 | 09:56 WIB

SETIAP orangtua menginginkan pendidikan terbaik bagi buah hatinya. Lazimnya, orangtua mulai menyekolahkan anaknya sejak di bangku taman kanak-kanak (TK). Dengan harapan anak mudah membaur dan beradaptasi. Kelas di TK terbagi dua, A dan B. Disesuaikan usia peserta didik. Beberapa orangtua memutuskan langsung ke TK B.

Hal itu dialami Erniwati. “Dari awal, memang niat menyekolahkan anak selama setahun saja di TK dan langsung SD. Waktu itu, saya pikirnya karena dia sudah bisa membaca. Di TK memang diajari membaca tapi lebih intensif belajar di rumah dengan saya. Kalau di TK, lebih banyak kegiatan bermain,” ungkapnya saat ditemui awal pekan lalu.

Saat itu banyak teman sekelas sang anak memilih lanjut TK (masa belajar dua tahun). Alasannya beragam, umumnya karena usia. Salah satu guru anaknya meragukan keputusan itu. Mengingat, putra bungsunya dianggap belum cukup umur. Dikhawatirkan sulit memahami pelajaran.

“Saya berkaca dengan pengalaman. Dua anak saya sebelumnya masuk SD saat enam tahun. Waktu itu, saya juga mengajari mereka baca, tulis, dan hitung di rumah. Anak saya tidak ada masalah dalam pendidikan. Paling bungsu ini baru saja naik kelas dua SD,” lanjut Erni.

Mendaftarkan anak SD saat enam tahun, tidak berarti mencerminkan orangtua yang bersikeras atau terkesan memaksa. Di luar sana, ada pula orangtua yang memiliki keputusan seperti Erni. Bagi dia, orangtua harus memahami bagaimana kemampuan anak dan perlu ditegaskan jika kemampuan tiap anak berbeda.

Beberapa orangtua menganggap, tingkat kecerdasan anak tidak ada kaitannya dengan riwayat pernah atau tidak sekolah di PAUD. Salah satunya, Nur Lesyati, ibu beranak empat ini tidak pernah mengikutsertakan semua anaknya di PAUD.

“Anak pertama saya sudah kuliah, umurnya 19 tahun. Kedua SMA, ketiga SMP, nah si bungsu ini umurnya sudah tujuh tahun, insyaallah nanti Juli dia sudah sekolah di SD. Si adek juga langsung SD tanpa TK seperti tiga kakaknya,” ucap perempuan yang akrab disapa Ati itu.

Dia mengaku lebih memilih membebaskan anak puas dengan kegiatan bermainnya ketika usia dini. Ketimbang memberikan pendidikan terikat dan rutin dilakukan. Tak hanya itu, Ati khawatir jika anak merasa terbebani. Dia pernah membaca satu artikel, bahwasanya pada masa golden age (kurang dari lima tahun) anak mampu meniru, mempelajari, menduplikat hal-hal yang baru dia ketahui dengan cepat. Sebab, pada masa itu, perkembangan anak sangat optimal. Sebab itu, dia merasa jauh lebih aman jika pada usia golden age pendidikan dari dalam rumah dulu yang anak terima.

“Bukannya pelit, atau karena enggak punya uang, tapi lebih ke rasa aman. Wajar seorang ibu merasa khawatir jika anak melihat hal-hal yang tidak seharusnya. Maka dari itu, saya rasa pada usia dini anak lebih baik belajar di rumah saja,” bebernya.

Tak hanya itu, Ati takut dengan kekerasan dan pencabulan anak yang marak terjadi di lingkungan PAUD. Semakin hari semakin ramai, dia merasa bahwa belajar di rumah adalah tempat aman.

“Aduh, hati saya hancur banget saat ngeliat berita anak disiksa, diperkosa, bahkan sampai meninggal. Jadi salah satu alasan kenapa saya memilih untuk tidak mengikutsertakan anak sekolah PAUD,” timpalnya.

Kendati demikian, Ati tidak melarang dan men-judge orangtua yang pro terhadap PAUD. Menurut dia, setiap orang memiliki pandangan masing-masing, terlebih jika menyangkut masa depan sang anak. Dia yakin, setiap keputusan orangtua merupakan pilihan yang terbaik untuk anak. (*/ysm*/nul*/rdm2/k8)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Dewa 19 siap mengguncang Balikpapan, Minggu Ini

Sabtu, 27 April 2024 | 08:18 WIB

Raffi-Nagita Dikabarkan Adopsi Bayi Perempuan

Senin, 15 April 2024 | 11:55 WIB

Dapat Pertolongan saat Cium Ka’bah

Senin, 15 April 2024 | 09:07 WIB

Emir Mahira Favoritkan Sambal Goreng Ati

Sabtu, 13 April 2024 | 13:35 WIB
X