Kemarau Tahun Ini Bakal Lebih Kering

- Minggu, 30 Juni 2019 | 10:22 WIB

JAKARTA–Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan musim kemarau tahun ini lebih kering dari 2018. Puncak musim kemarau diprediksi Agustus. Cuaca panas juga berpotensi memperburuk kualitas udara di perkotaan.

Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Dodo Gunawan menuturkan, musim kemarau 2019 dipengaruhi fenomena el nino. Meski, intensitasnya kecil. ”Karena itu, musim kemarau tahun 2019 akan terasa lebih kering dibandingkan 2018,” kata Dodo. Memasuki Juli, hampir semua daerah di Tanah Air sudah mulai masuk musim kemarau.

Musim kemarau yang panas dan terik, lanjut dia, berpotensi meningkatkan polusi udara di perkotaan. Emisi gas yang dikeluarkan kendaraan bermotor maupun pabrik industri terperangkap di atmosfer. Kondisi tersebut membuat suhu di atmosfer lebih tinggi dari suhu di permukaan bumi.

”Kondisi tersebut yang disebut sebagai inversi. Sehingga lapisan atmosfer susah untuk menguraikan polutan,” jelasnya. Tak ayal, cuaca saat ini menyebabkan polusi semakin meningkat. Yang tentunya membuat suhu udara di perkotaan semakin panas.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menuturkan, memasuki Juni hingga September 2019, sebanyak 31 daerah dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah (Jateng) rawan kekeringan. Jumlah tersebut meliputi 1.259 desa dari 360 kecamatan yang ada di Jateng.

”Sampai hari ini, kami sudah mengirim tangki air di desa yang mengalami kekeringan ke 10 kabupaten/kota. Di antaranya, Semarang, Cilacap, Grobogan, Temanggung, dan Blora,” jelasnya saat dihubungi Jawa Pos, kemarin.

Sementara ini, lanjut politikus PDI Perjuangan itu, bantuan tersebut masih tercukupi dari masing-masing APBD daerah. Bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia serta pengusaha setempat. "Khusus dari APBD Jateng menyediakan dana Rp 320 juta untuk 1.000 tangki air," terang Ganjar.

Guru Besar bidang Tanah Universitas Gadjah Mada Azwar Maas mengatakan, kekeringan bisa diantisipasi dengan konservasi air. Lebih efisien dalam menggunakan air, membuat sumur resapan, dan embung atau kolam untuk menampung dan menyimpan air saat musim hujan.

Yang lebih penting, kata Azwar, adalah menjaga ekosistem hutan yang alami. Hutan terdiri dari tanaman yang sangat heterogen. Tidak monokultur seperti tanaman yang ada di taman. Sebab, tanaman di hutan tumbuh secara alami. Mayoritas, memiliki akar tunggang yang kuat menancap ke dalam tanah untuk mencari air.

”Maka dari itu, hutan tropis kaya dengan air. Sementara, tanaman di taman itu mereka cenderung mendapat suplai air. Justru itu yang harus kita kurangi. Menggunakan air secara bijak,” urai Azwar. (han/jpg/dwi/k8)

Analisis Musim Kemarau

 

Jawa Barat: 64 hari tanpa hujan

DI Jogjakarta: 61 hari tanpa hujan

Jawa Timur: 72 hari tanpa hujan

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X