Pemerintah punya kebijakan baru untuk dunia properti. Salah satunya insentif fiskal. Tentu jadi angin segar bagi pengembang.
PENGUSAHA properti mengapresiasi sejumlah insentif fiskal yang diberikan pemerintah. Hal ini sejak lama ditunggu pengembang, namun sedikit tertahan dan baru bisa direalisasikan pemerintah setelah pemilu.
“Ini sudah kami harapkan, dari dulu,” kata Sekretaris Jenderal DPP Real Estate Indonesia (REI) Paulus Totok Lusida kemarin (22/6). Sebelumnya, pemerintah telah menaikkan batas harga hunian mewah yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), dari Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar.
Kemudian, batas harga rumah sederhana (RS) dan rumah sangat sederhana (RSS) yang dikenai pajak pertambahan nilai (PPN) juga naik per masing-masing daerah, rata-rata 3-7 persen.
Pemerintah juga telah mempermudah proses validasi pajak penghasilan (PPh) final (Pasal 22) bagi pengembang, dari 15 hari menjadi 3 hari. Selain itu, PPN rumah untuk korban bencana alam juga dihapuskan. Yang terbaru, pemerintah akan segera menaikkan batas harga rumah yang dikenai PPh, dari Rp 5 miliar menjadi Rp 30 miliar. Tarif PPh-nya pun akan diturunkan, dari 5 persen menjadi 1 persen.
Menurut Totok, insentif-insentif pajak ini akan mendorong pertumbuhan sektor properti, baik di segmen menengah ke atas maupun menengah ke bawah. Sebab, selama ini permintaan rumah mewah terus menurun karena pajak yang tinggi. Market share penjualan rumah mewah di atas Rp 30 miliar, kata Totok, memang hanya sekitar 2 persen dari total penjualan. Namun, efek dari penjualan rumah mewah itu juga dapat memengaruhi permintaan rumah di kelas-kelas di bawahnya.
“Kalau suatu daerah permintaan rumah mewahnya tinggi, maka daerah itu akan berkembang. Sebab rumah mewah itu artinya dipandang sebagai investasi. Tetapi kalau permintaan rumah mewahnya rendah, maka di daerah itu akan jarang orang yang investasi di properti. Artinya yang beli ya hanya orang-orang yang perlu tempat tinggal saja,” papar Totok.
Dia berharap, pertumbuhan sektor properti nantinya juga akan berimbas ke sektor-sektor lain, seperti perdagangan, industri, jasa keuangan, dan lain-lain. Sebab, properti adalah sektor usaha yang paling besar multiplier effect-nya pada perekonomian.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara menambahkan, properti masih menjadi industri yang dibutuhkan banyak orang, namun kenaikan harganya justru melambat. “Jadi kenaikan harga rumah baik yang small, medium dan large itu melambat. Itu hasil diskusi dan survei Bank Indonesia (BI),” katanya. Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) pada 2013 misalnya berada di angka 12,11. Angka tersebut terus menurun hingga pada awal 2019 menjadi 1,66.
Menurut Suahasil, pengembang akan lebih bergairah dengan pelonggaran-pelonggaran pajak ini. Sebab, sebelumnya pengembang mengeluh komponen pajak di industri properti terlalu beragam, mulai pajak untuk daerah hingga negara. Hal itu membebani pengembang dan juga konsumen. (rin/jpnn/rom/k15)