SAMARINDA–Integrasi penanganan banjir kembali ditempuh Pemkot Samarinda. Verifikasi penyebab hingga evaluasi penanganan yang sudah berjalan seolah tidak punya pangkal.
Sekretaris Daerah (Sekda) Samarinda Sugeng Chairuddin menuturkan, banjir tidak bisa ditangani sesegera mungkin. Mengingat, hasil verifikasi muasal bencana mengarah pada siklus rutin yang menimpa Samarinda. “Banjir di Samarinda itu ada siklusnya, dari lima hingga 25 tahun. Nah, banjir kali ini siklus 25 tahun itu dan masuk kategori banjir rob (kenaikan air sungai),” ucapnya selepas rapat integrasi penanganan banjir di Rumah Jabatan Wali Kota Samarinda, kemarin (21/6).
Penanganan khusus yang holistik dari hulu ke ilir mutlak ditempuh guna antisipasi bencana serupa dikemudian hari. Debit air yang turun dari hulu, kata Sugeng, capai 625 meter kubik per detik. Sementara daya tampung saluran drainase maksimal 150 meter kubik per detik.
Mantan Asisten II bidang Pembangunan dan Ekonomi Sekretariat Kota Samarinda itu tidak memungkiri jika reaksi penanganan ketika musibah terjadi, pemkot terkesan lamban. Namun ihwal ini, menurut dia, bisa jadi pelajaran agar tak terulang nantinya. “Mau gimana lagi, sudah terjadi. Sebaiknya fokus kerjakan untuk benahi agar tidak terulang,” sebutnya.
Mengawal implementasi rancangan tata ruang wilayah (RTRW) jadi solusi menekan kemungkinan bencana serupa terulang. Semisal memperkuat bangunan pengendali (bendali) air, memperkuat kolam retensi atau penampungan sementara air, hingga mengawal sedimentasi Sungai Karang Mumus (SKM) agar tidak menumpuk dan membuat dangkal anak Sungai Mahakam tersebut jadi langkah yang harus diefektifkan selanjutnya. “Enggak luput memasang pintu air di kawasan hilir agar air dari SKM ke (Sungai) Mahakam bisa dikendalikan,” ulasnya.
Tapi, sekali lagi, anggaran jadi tameng pemerintah soal banjir yang tidak kunjung usai. Menurut Sugeng, Samarinda punya dua permasalahan banjir. Banjir yang ajek terjadi saban hujan hingga banjir rob tersebut. “Kalau cuma pemkot enggak pernah cukup anggarannya. Perlu kolaborasi, pemkot, pemprov, dan pusat,” tegasnya. Wacana membangun kanal kolektif seperti DKI Jakarta. “Jika kemampuan fiskal dan teknis hingga topografi Samarinda memungkinkan ini bisa terealisasi ke depannya,” tutupnya. (*/ryu/ypl/k8)