Kendati Disdik Samarinda telah membuka pendaftaran PPDB dua kali, namun kuota di sejumlah sekolah belum juga terpenuhi. Disdik pun memastikan tidak akan membuka pendaftaran gelombang ketiga.
SAMARINDA–Masa pendaftaran penerimaan peserta didik baru (PPDB) SMP tahap kedua berakhir, Rabu (19/6). Namun, kuota sekolah-sekolah yang mengadakan PPDB kedua tersebut belum juga terpenuhi.
Padahal, sebelumnya diperkirakan ada sekitar seribu calon peserta didik baru (CPDB) yang tidak tertampung di SMP negeri dan mesti ke swasta. Namun, ternyata kuota sekolah negeri pun tidak terpenuhi.
Kepala Dinas Pendidikan (Disdik) Samarinda Asli Nuryadin mengatakan, hingga ditutup, jumlah pendaftar PPDB gelombang kedua tidak sesuai harapan. “Ini saja SMP yang baru kami buka, kalau tidak salah hanya sekitar 60 pendaftar,” kata Asli.
Dia menambahkan, pihaknya tidak akan membuka PPDB tahap ketiga lagi. Mengingat, PPDB kedua saja tidak terpenuhi pendaftarnya. Kegiatan sekolah pun tetap berlanjut sesuai dengan kalender pendidikan seperti hari efektif sekolah dimulai 15 Juli mendatang.
“Jadi, sekolah bisa memaksimalkan yang ada. Melakukan branding sekolah. Sehingga, nantinya sekolah bisa lebih banyak peminatnya. Tidak kalah dengan yang swasta dan sekolah lain,” imbuhnya.
Ada 13 sekolah yang menawarkan 688 kursi dalam PPDB tahap kedua. Sekolah-sekolah yang tidak terpenuhi kuotanya umumnya adalah sekolah-sekolah baru yang berada di kawasan pinggiran kota. Ketimpangan memang terjadi. Ada sekolah yang pendaftarnya membeludak.
Ada pula sekolah yang bahkan tidak bisa memenuhi setengah dari kuota yang ada. Penyebaran sekolah juga tidak merata. Jadi, Disdik Samarinda pun membuka dua sekolah baru untuk mengakomodasi masyarakat. Misalnya di Kecamatan Samarinda Seberang hanya ada satu SMP.
Karena itu, Disdik membuka satu SMP baru. Sedangkan di Kecamatan Sungai Pinang hanya ada satu SMP yang berada di Jalan Mugirejo. Padahal, Sungai Pinang merupakan kawasan padat penduduk. Sehingga, Disdik juga membuka satu SMP baru di Jalan Proklamasi, Sungai Pinang.
Disebutkan Asli, dengan sistem 90 persen zonasi seperti ini, membuat banyak pihak keberatan. Pasalnya, kans mereka untuk masuk ke sekolah yang diinginkan terhalang dengan jarak. Meskipun, nilai mereka tinggi.
“Sebenarnya, lebih bagus jika ambil tengah-tengahnya. Sekian untuk zona bina lingkungan, sekian untuk yang masuk berdasarkan nilai. Jadi, tetap bisa mengakomodasi kebutuhan masyarakat,” pungkasnya. (*/nyc/kri/k8)