PPDB Bertujuan Mulia, Tapi Pelaksanaan Bermasalah

- Rabu, 19 Juni 2019 | 10:56 WIB

JAKARTA - Semangat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meniadakan sekolah favorit melalui penerimaan peserta didik baru sistem zonasi patut diapresiasi. Meski begitu, pelaksanaannya di lapangan tidak semulus yang dibayangkan. Sebab, setiap daerah memiliki karakter demografi, jumlah siswa, hingga daya tampung sekolah yang berbeda-beda.

Mendikbud Muhadjir Effendy menuturkan pendekatan zonasi betujuan untuk memberikan akses setara kepada peserta didik. Tanpa melihat latar belakang kemampuan maupun sosial ekonomi. "Jika ada seorang anak dari keluarga ekonomi tidak mampu dan tidak bisa bersekolah di dalam zonanya, maka mereka akan berpotensi putus sekolah," ucap menteri 62 tahun itu.

Meski begitu, sebagian orang tua siswa merasa dirugikan dengan pelaksanaan sistem zonasi. Nilai dan prestasi belajar tidak ada artinya. Yang penting rumah dekat sekolah. Praktis, siswa yang diterima memiliki nilai rendah.

Jangankan berburu sekolah favorit. Masuk ke sekolah negeri biasa terasa susah. Karena yang diterima rata-rata jarak dari rumah ke sekolah tidak sampai 1 km. Bahkan, ada yang kurang dari 500 meter.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyebut pendekatan zonasi menyebabkan ada sekolah yang masih kekurangan siswa. "Ada sekolah di Wonogiri dan Purbalingga jumlah siswanya tidak sesuai target. Kelasnya masih ada yang kosong," ucapnya saat ditemui di Pasific Place kemarin.

Politisi PDI Perjuangan itu menilai sistem zonasi tidak mempertimbangkan masalah yang dihadapi setiap daerah itu berbeda. Dan terkesan berlangsung sekali jadi. Padahal infrastruktur, fasilitas, hingga sarana dan prasarana sekolah belum semuanya merata. Pola perilaku dan mindset masyarakat tidak bisa seketika diubah begitu saja. "Jadi bikin masyarakat kaget," kata Ganjar.

Butuh proses bertahap untuk memperbaiki itu semua. Maka dari itu, dia mengusulkan untuk adanya modifikasi dari Peraturan Mendikbud Nomor 51 tahun 2018. Menampung anak-anak berprestasi melalui jalur prestasi dengan kuota 5 persen dan perpindahan orang tua 5 persen.

"Kalau di dalam satu zona siswa yang berprestasi banyak, kami berikan kebijakan dengan lokalitas itu sebesar 20 persen dari kuota jalur zonasi  90 persen. Agar tidak ada kecemasan antara siswa maupun orang tuanya," jelas pria 50 tahun itu.

Pengamat pendidikan dari Center of Education Regulation and Development Analysis (Cerdas) Indra Charismiadji gaduhnya pelaksanaan PPDB berbasis zonasi muncul karena pemda belum paham maksud dan tujuannya. ”Jadi mereka (pemda, Red) punya mindset yang lama. Dan saya gak tahu bagaimana komunikasi antara pusat dan daerah,” katanya.

Dia menegaskan bahwa persoalan dalam PPDB berbasis zonasi dipicu dari pemda yang tidak paham. Nah pemda tidak paham itu apakah memang disengaja supaya tetap tidak paham atau faktor lainnya. Menurutnya ada banyak faktor yang mempengaruhi di daerah. Seperti adanya politik di daerah serta tuntutan dari konstituennya.

Menurut Indra PPDB berbasis zonasi merupakan solusi dari rendahnya kenaikan tingkat partisipasi murni (APM) pendidikan dasar maupun menengah. Padahal anggaran pendidikan yang digelontorkan setiap tahun tidak kurang dari Rp 500 triliun. Dengan kenaikan APM yang tidak sampai satu persen, sedangkan anggaran yang dikeluarkan lebih dari Rp 500 triliun, menurut Indra tidak ideal.

Pemicu rendahnya APM itu karena sekolah negeri yang umumnya gratis atau berbiaya rendah, justru dinikmati oleh anak-anak dari keluarga kaya. Sebaliknya anak-anak dari keluarga miskin sekolah di sekolah swasta. Pemicunya anak-anak dari keluarga miskin kalah bersaing dengan anak-anak dari keluarga kaya untuk masuk sekolahan negeri.

"ini terbalik. Harusnya anak-anak miskin diberikan akses seluas-luasnya masuk ke sekolah negeri,” tuturnya. Banyaknya anak-anak miskin yang tidak bisa masuk ke sekolah negeri, menyebabkan terjadi angka putus sekolah. Ataupun kalau sekolah, mereka hanya bisa masuk di sekolah swasta gurem.

Nah dengan adanya sistem zonasi itu, niat Kemendikbud memberikan akses yang luas kepada anak-anak di sekitar sekolahan untuk masuk sekolah negeri. Khususnya untuk anak-anak dari keluarga miskin dan berapapun nilai mereka pada jenjang pendidikan sebelumnya.

Indra memperkirakan jika seluruh anak-anak miskin diberikan akses yang luas ke sekolah negeri, masih tersisa bangku atau kuotanya. Nah sisa inilah yang kemudian diperebutkan secara terbuka oleh anak-anak dari keluarga kaya itu. Kemudian jika ada anak dari keluarga kaya yang tidak tertampung di sekolah negeri, mereka masih mampu masuk ke sekolah swasta yang berkualitas.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X