Mengatasi banjir Samarinda cukup pelik. Meski penyebabnya sudah diketahui. Hingga solusinya juga banyak mengemuka.
SAMARINDA-Pembukaan lahan akibat penambangan batu bara dan properti yang masif jadi catatan bagi pemerintah daerah. Celakanya tanpa disertai pencegahan dari dampak buruk yang ditimbulkan. Walhasil, drainase dan sungai lebih cepat mengalami sedimentasi. Banjir juga mudah datang.
Pengamat tata kota dari Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Balikpapan, Farid Nurrahman, mengatakan bahwa banjir yang melanda Kota Tepian tidak bisa hanya dilarikan ke satu atau dua persoalan. Baik pemerintah maupun masyarakat sama-sama memiliki andil atas musibah banjir tersebut.
“Banjir bukan karena kesalahan yang terjadi satu atau dua tahun. Itu kesalahan yang sudah menumpuk atau terakumulasi. Penyelesaiannya harus di level kebijakan. Bagaimana political will-nya. Baik dari eksekutif maupun legislatif,” kata dia, kemarin (15/6).
Sebesar apapun program perencanaan pembangunan yang disusun eksekutif, ketika tidak didukung legislatif, akan sulit direalisasikan. Sebaliknya pun demikian. Penyelesaian banjir Samarinda sudah bicara di level kebijakan.
“Semua masukan dari berbagai elemen masyarakat belakangan ini cukup masuk akal. Baik itu usulan normalisasi sungai, membenahi Bendungan Benanga, atau membangun sistem irigasi yang terkoneksi,” katanya.
Namun, usulan-usulan itu sifatnya jangka pendek. Bisa dikerjakan dalam waktu lima sampai sepuluh tahun. Pada dasarnya semua memungkinkan untuk dikerjakan. Baik oleh pemerintah kota maupun pemerintah provinsi. Namun, yang harus dipelajari lebih dalam adalah apa penyebab utamanya.
“Kalau dilihat penyebabnya adalah perubahan lahan. Dan itu hanya bisa ditangani di level kebijakan. Misalnya dari lahan pertanian ke pertambangan. Lahan pertanian jadi permukiman. Penyelesaian itu adanya di level kebijakan,” tuturnya.
Bicara penyelesaian jangka pendek dan menengah, maka hanya bicara siap atau tidak dukung pendanaan. Namun, jika bicara jangka panjang, maka itu bicara perencanaan dan kebijakan. Baik sisi regulasi maupun penerapan perizinan.
“Misalnya Balikpapan. Mereka enggak mau tergoda dengan pertambangan. Hasilnya, kotanya bagus dan bersih. Walaupun masih ada banjir. Tapi itu bisa diselesaikan dengan hal-hal teknis,” sebutnya.
Jika ingin Samarinda lepas dari persoalan banjir, mengembalikan Kota Tepian sebagaimana fungsinya adalah kuncinya. Sebagai kota tanpa tambang. Pemkot dan Pemprov Kaltim harus berani mengambil risiko itu.
Jadikan Kota Tepian sebagai pusat pemerintahan dan perdagangan atau jasa. Jika ingin mendorong peningkatan kualitas pembangunan. Termasuk ekonomi dan sumber daya manusia. Maka harus yang selaras dengan fungsinya. Jangan lagi ada tambang batu bara di ibu kota provinsi.
“Kalau mau bangun atau buka lahan, harus yang ada keterkaitannya dengan industri. Misalnya permukiman bertambah. Itu wajar. Sebab, Samarinda adalah kota. Kalau perubahannya menjadi industri berat, itu bukan fungsinya ibu kota,” seru dia.
Buruknya tata ruang yang dimiliki Samarinda, tidak lepas dari regulasi yang mengatur itu. Farid menyebut, perubahan drastis tata ruang Samarinda, tumpang tindih lahan pertanian, permukiman, dan pertambangan, semua berasal dari perencanaan tata ruang yang memberikan ruang tersebut.