Komisioner KPU Sebut Dalil dan Petitum Prabowo - Sandi Enggak 'Nyambung'

- Sabtu, 15 Juni 2019 | 23:16 WIB

 Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengomentari permohonan sengketa Pilpres 2019 yang dibacakan tim kuasa hukum pasangan calon presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno, pada sidang perdana yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Jumat (14/6) kemarin.

Pramono menilai antara dalil dengan petitum yang dibacakan tidak berhubungan alias tidak nyambung. Pemohon di satu sisi mendalilkan bahwa KPU melakukan kecurangan dengan cara merekayasa sistem informasi penghitungan suara (Situng) Pemilu 2019.

 "Namun dalam petitum mereka meminta MK untuk membatalkan perolehan suara hasil rekapitulasi secara manual. Ini namanya enggak nyambung," ujar Pramono di Jakarta, Sabtu (15/6).

Menurut Pramono, untuk menyambungkan antara situng dan penghitungan manual, pemohon diduga mencoba menyusun teori adjustment atau penyesuaian.

Di mana dalam asumsi pemohon, angka di dalam situng direkayasa sedemikian rupa oleh KPU untuk menyesuaikan dengan target angka tertentu, atau angka hasil rekap secara manual.

"Ini adalah asumsi yang tidak tepat. Karena keduanya meski berangkat dari titik yang sama (C1), namun mengikuti alur yang berbeda," ucapnya.

Pramono menjelaskan, untuk memuat penghitungan dalam situng, formulir rekapitulasi penghitungan suara (C1) dari setiap tempat pemungutan suara (TPS) di scan dan di upload ke situng oleh KPU Kabupaten/Kota apa adanya. Sementara untuk penghitungan manual, direkap secara berjenjang. 

"Nah, angka yang digunakan untuk menetapkan perolehan suara setiap peserta pemilu adalah angka yang direkap secara berjenjang itu," tuturnya. 

Karena itu, kata Pramono, jika logika yang disampaikan pemohon diikuti, maka yang salah adalah angka yang tampil di situng, karena hasil rekayasa.

"Kalau begitu, harusnya angka yang di situng dong yang dikoreksi. Bukan angka hasil rekap manual. Kenapa? Karena angka hasil rekap secara manual tidak dibahas kecurangannya oleh pemohon," ujarnya.

Menurut Pramono, ketika menyebut ada pelanggaran, pemohon harusnya menyampaikan di TPS mana terjadi pelanggaran, lengkap dengan desa/kelurahan, kecamatan atau di kabupaten/kota, sebagaimana dituangkan dalam dokumen C1, DA1 atau DB1.

"Ini sama sekali tidak ada. Jadi, tuntutan agar hasil rekap manual dibatalkan karena situng katanya direkayasa, itu didasarkan pada logika yang tidak nyambung," pungkas Pramono. (gir/jpnn)

 

 

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X