HIDUP hanya sekali. Hal itu membuat Adi Santoso kerap mengingat apakah yang sudah diperbuat berdampak kepada orang di sekelilingnya. Hal itu juga yang mendasari Adi hanya ingin menjual busana muslim khusus perempuan.
“Kalau saya jualan baju terbuka, lalu dipakai sama yang belisembari memamerkan aurat. Pasti dosanya akan mengalir ke saya juga karena sudah memperkenalkan baju itu agar mereka beli. Aduh, saya enggak sanggup untuk itu,” ucapnya saat ditemui di tokonya, Jalan Juanda Samarinda.
Tidak sekadar berjualan lalu mendapat uang. Adi ingin bisnisnya memberi manfaat. Bahkan dia mengaku begitu terharu ketika berpapasan dengan perempuan yang mengenakan jilbab berlabel Najwan Shop.
Namun, pria 28 tahun itu pernah mendapat gunjingan karena berjualan busana perempuan. Dulu Adi sempat mengaku malu promosi di akun Instagram pribadi. “Sempat dikatain karena barang jualan saya itu khusus perempuan. Mereka bilang, kok enggak jantan banget sih jualannya,” ucapnya seraya menirukan gaya orang yang mencibirnya.
Namun, rasa percaya diri mulai muncul saat dia mengikuti forum komunitas khusus pengusaha di Samarinda. Dia berkesempatan untuk berdisuksi dengan beberapa owner dari brand lokal ternama. Betapa kagetnya dia, mayoritas dari mereka adalah pria.
“Saya pikir mayoritas brand ternama itu pemiliknya perempuan. Walhasil, dari itu saya mulai tutup telinga deh sama hujatan haters. Tetap fokus dan berdoa tentunya, toh keberhasilan ada di tangan kita yang mau berjuang,” ungkap Adi.
Tak ada bayi yang langsung berdiri. Begitu pula dengan perjalanan bisnis Adi. Dia merangkak dulu sebelum kini mampu berlari. “Dulu sempat dibilang norak, enggak modis, dan ketinggalan zaman karena warna jilbab dan baju yang saya jual. Ucapan mereka saya tampung, agar bisa selektif memilih barang jualan sesuai selera perempuan masa kini,” ujarnya tabah.
Adi percaya, Tuhan selalu memberikan kemudahan bagi hamba-Nya yang mau menjadi pribadi lebih baik. Sembari berkaca-kaca, Adi mengaku sangat bangga meringankan beban ibu dan mampu menjalankan amanah almarhum bapak dengan baik. Menjaga sang ibu dan adik.
“Ibu hanya penjual nasi kuning, sedangkan bapak dulu sopir angkot. Makan saja harus irit. Tapi, sekarang alhamdulillah saya bahagia bisa mengubah nasib keluarga,” ucapnya.
Hingga suatu hari, Adi memberi hadiah kepada sang ibu tercinta. Beberapa perhiasan. Baginya, itu adalah pencapaian yang lebih membanggakan dari sekadar berhasil menjual ribuan jilbab.
“Mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, tapi enggak bagi keluarga saya yang dari dulu uang makan saja mikir. Respons ibu? Mashaallah, beliau menangis sambil bilang terima kasih. Padahal apa yang saya beri itu enggak akan cukup membalas semua jasanya,” ungkapnya.
Adi selalu berusaha patuh pada sang ibu, orangtua satu-satunya. Pada akhir pembicaraan, Adi memberi tips agar menjalani hari dengan lancar. Mengawali aktivitas dengan meminta rida dan mencium tangan orangtua. (*/nul*/rdm2)