Bambang Iswanto*
MAL dan pusat perbelanjaan penuh. Tidak ketinggalan, toko online juga ramai pengunjung. Semua dalam rangka mempersiapkan pakaian baru menyambut hari raya Idulfitri. Demikian juga persiapan menyuguhkan makanan terbaik pada Lebaran. Toko-toko kue, dari toko penjual bahan mentah sampai toko kue jadi, halaman parkirnya sesak.
Suasananya berbanding terbalik dengan tempat-tempat ibadah. Tampak lengang dan longgar. Yang tersisa hanya wajah-wajah jamaah tetap masjid, yang biasanya didominasi oleh orang-orang tua dan segelintir generasi muda.
Sepinya masjid belum tentu disebabkan berpindahnya jamaah ke pusat perbelanjaan. Bisa jadi mereka juga tidak pergi ke tempat perbelanjaan. Tetapi mungkin sudah merasa jenuh dan lelah tarawih. Kemungkinan lain mereka tetap bertarawih di rumah. Atau mungkin, sebagian dari mereka sedang dalam perjalanan mudik ke kampung halaman.
Tidak ada yang salah dengan mempersiapkan pakaian, hidangan lezat, pulang kampung untuk menyambut kedatangan Lebaran. Namanya Lebaran, tentu merupakan hari perayaan.
Rasulullah menyuruh umat muslim untuk bergembira pada hari tersebut. Memakai pakaian baru dan menghidangkan kue Lebaran, mudik, berbagi angpau, halalbihalal adalah bentuk ekspresi dan terjemahan sebagian masyarakat dalam merayakan Idulfitri. Yang keliru adalah ketika kesibukan dalam mempersiapkan Idulfitri, melupakan dan menyia-nyiakan keutamaan Ramadan. Sehingga tergolong menjadi orang yang merugi.
Tetap bersiap-siap tetapi tetap menjaga ibadah. Keduanya bisa jalan beriringan. Siang belanja, malamnya Tarawih. Atau mempersiapkannya sebelum Ramadan datang, bagi yang sudah memiliki uang, agar bisa memaksimalkan ibadah Ramadan.
Lebaran Idulfitri di Indonesia tergolong unik dan termeriah di dunia. Pada negara yang berpenduduk mayoritas muslim lain, Iduladha justru lebih meriah dibanding Idulfitri. Idulfitri di Indonesia lebih dari sekadar hari besar keagamaan Islam.
Maknanya sudah melebar, jauh melampaui batas-batas ritual Idulfitri sendiri. Lebaran sudah menjadi peristiwa budaya yang melekat dengan masyarakat Indonesia. Tafsir terhadap ajaran agama terkait menyambut kemenangan pun sering melampau tafsir teks keagamaan tentang ritual agama lain.
Penafasiran tersebut melahirkan tradisi mudik pulang kampung. Atau tradisi lain seperti halalbihalal, open house pejabat pemerintah, pimpinan perusahaan, dan tokoh masyarakat yang terbuka untuk umum baik muslim dan nonmuslim, tidak ditemui di negara berpenduduk muslim lain. Demikian pula dengan tradisi berbagi “angpau”. Semua dilandasi pengamalan agama yang digabung dengan kearifan lokal dalam konteks budaya.
Seluruh tradisi yang baik tersebut ada akar keagamaannya. Halalbihalal wujud pengamalan dari perintah menyambung tali silaturahmi. Mudik adalah upaya dari pengamalan agama berbakti kepada orangtua dan menyambung tali silaturahmi dengan kerabat terdekat.
Tradisi bagi angpau merupakan pengejawantahan dari kewajiban berbagi harta dengan yang lain dalam bentuk infak. Kesimpulan dari semua tradisi yang berakal dari ritual pengamalan agama tersebut menyampaikan pelakunya bahagia, orang yang didatangi bahagia, dan orang yang dibagi juga bahagia.
Meski perjalanan mewujudkan diperlukan perjuangan keras, lihat saja bagaimana orang mudik. Untuk bisa mewujudkan pulang kampung, mereka rela menapaki jalanan, dan antrean panjang yang kadang memakan waktu berhari-hari di medan perjalanan yang tidak mudah.
Pembagi “angpau” harus menabung selama berbulan-bulan untuk bisa berbagi harta. Demikian untuk bisa membeli pakaian terbaik dan hidangan terbaik Lebaran, tidak jarang mengeluarkan tabungan yang sudah lama disimpan.