Konsumsi Tiongkok Membengkak, Ekspor Minyak Kelapa Sawit Naik

- Senin, 20 Mei 2019 | 11:08 WIB

SAMARINDA – Sejak awal 2019, berbagai tantangan dari dalam dan luar negeri menerpa industri kelapa sawit Tanah Air. Ini membuat harga crude palm oil (CPO) pada Maret lalu tergerus 5 persen dibandingkan bulan sebelumnya, di angka USD 528,4 per metrik ton. Meski demikian, kinerja ekspor CPO tetap menggeliat dan menandakan optimisme sektor ini masih terus berkembang.

Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kaltim Muhammadsjah Djafar mengatakan, pada awal tahun industri sawit digoyang oleh Uni Eropa dengan kebijakan Renewable Energy Directive II (RED II), yang akan menerapkan kebijakan penghapusan penggunaan biodiesel berbasis sawit. Mereka beralasan minyak kelapa sawit memiliki risiko tinggi terhadap deforestrasi. “Tak hanya dari luar negeri, dari dalam negeri juga memiliki tekanan,” katanya, Minggu (19/5).

Di dalam negeri, tambah Djafar, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) terus menekan industri untuk keterbukaan informasi hak guna usaha (HGU). Dari pasar, industri dibayangi kekhawatiran harga CPO global yang trennya terus menurun. “Walaupun banyak tantangan, nyatanya sektor ini tetap berperan dalam meningkatkan kinerja ekspor di Indonesia. Apalagi di Kaltim,” ungkapnya.

Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim mencatat, ekspor Kaltim pada awal tahun mengalami peningkatan sebesar 27,57 persen. Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh naiknya ekspor barang migas dan barang nonmigas. Di dalam ekspor barang migas terdapat ekspor CPO. Jumlah ekspor migas mencapai USD 0,24 miliar, naik 40,46 persen.

Di Indonesia, pada triwulan pertama 2019, kinerja ekspor minyak sawit secara keseluruhan seperti Biodiesel, Oleochemical, CPO dan produk turunannya, meningkat sekitar 16 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dari 7,84 juta ton pada triwulan I 2018 meningkat menjadi 9,1 juta ton di triwulan I 2019.

 “Jika kita lihat dari kinerja ekspor di Kaltim maupun secara nasional, ekspor CPO masih tetap tumbuh meskipun belum maksimal. Namun, itu sudah cukup baik di tengah banyaknya tantangan kelapa sawit,” tuturnya.

Djafar menambahkan, sentimen RED II Uni Eropa, telah ikut menggerus kinerja ekspor. Selain itu lesunya perekonomian di negara tujuan utama ekspor Indonesia khususnya India berdampak sangat signifikan pada permintaan minyak sawit. Adapun negara tujuan utama ekspor dari Kaltim pada Maret 2019 adalah Jepang, Tiongkok dan Taiwan masing-masing mencapai USD 122,84 juta, USD 67,37 juta dan USD 54,06 juta.

 “Ekspor kita masih meningkat, persentase kenaikan terbesar ekspor kita pada Maret 2019 dibandingkan dengan Februari 2019 terjadi ke negara Tiongkok sebesar 431,63 persen. Sedangkan penurunan terbesar ekspor migas Maret 2019 dibandingkan dengan Februari 2019 terjadi ke negara Jepang sebesar 23,81 persen,” katanya.

Dari sisi harga, sepanjang Maret harga CPO global bergerak di kisaran USD 510–550 per metrik ton dengan harga rata-rata USD 528,4 per metrik ton. Harga rata-rata ini tergerus 5 persen, dibandingkan harga rata-rata Februari USD 556,5 per metrik ton.

Pada Maret lalu, produksi minyak sawit membukukan peningkatan 11 persen. Dari 3,88 juta ton di Februari meningkat menjadi 4,31 juta ton pada Maret. Naiknya produksi Maret ini tergolong normal karena hari kerja yang lebih panjang jika dibandingkan dengan Februari.

Dengan produksi yang cukup baik, stok minyak sawit pada Maret ini masih terjaga di angka 2,43 juta ton. Meskipun turun 3 persen dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang bertengger di 2,50 juta ton. “Kita tetap optimistis kinerja ekspor CPO masih tetap akan meningkat, meskipun berbagai tantangan masih banyak,” pungkasnya. (*/ctr/ndu/k18)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ekonomi Bulungan Tumbuh 4,60 Persen

Kamis, 28 Maret 2024 | 13:30 WIB

2024 Konsumsi Minyak Sawit Diprediksi Meningkat

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:21 WIB

Pemprov Kaltara Tawarkan 17 IPRO ke Amerika

Selasa, 26 Maret 2024 | 09:30 WIB
X