Pelecehan Seksual di Kampus: Jalan Damai Apakah Cukup?

- Kamis, 16 Mei 2019 | 15:48 WIB

Oleh: Andi Wahyu Irawan

 Dosen Bimbingan Konseling Universitas Mulawarman

SEJUMLAH kasus pelecehan seksual terhadap mahasiswi yang kian marak terjadi menjadi fenomena memilukan yang mengentak kesadaran sosial akan pentingnya penciptaan kesehatan jiwa di lingkungan kampus. Belum lekang dalam ingatan kita, kasus Agni, mahasiswi Universitas Gadja Mada yang mengalami kekerasan seksual oleh rekan mahasiswanya pada saat KKN di Maluku 2017.

Jalan panjang perjuangan Agni dan kawan-kawannya dalam mendapatkan keadilan ternyata harus berujung damai atau dalam bahasa diplomatis pihak kampus ‘’penyelesaian kesepakatan non-ligitasi”. Pelakunya malah tidak mendapatkan efek jera. Kasus Agni membuka mata kita bahwa pelecehan seksual di kampus benar nyata adanya. Tidak hanya Agni, kasus pelecehan seksual pada mahasiswi juga marak terjadi di berbagai kampus di Indonesia. 

Sejak 13 Februari hingga 28 Maret 2019, proyek kolaborasi #NamaBaikKampus antara Tirto.id, The Jakarta Post dan Vice Indonesia, berhasil menghimpun data kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi di Indonesia. Selama rentan waktu kurang dari dua bulan, proyek #NamaBaikKampus menerima 174 laporan dari peyintas (korban) pelecehan seksual di 29 kota yang tersebar di 79 perguruan tinggi. Ironisnya, dalam laporan tersebut, pelaku yang paling banyak melakukan pelecehan seksual adalah mahasiswa dan dosen.    

Isu pelecehan seksual di kampus sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia. Kampus sekaliber Yale University, pada 2016 sempat diguncang dengan kasus pelecehan seksual oleh salah seorang dosen yang menyandang gelar akademik tertinggi; profesor. Profesor Thomas Pogge diduga memanfaatkan relasi kuasa sebagai dosen untuk memaksa mahasiswanya melakukan hubungan seksual.

Pogge yang juga sering tampil di TED Talks menyuarakan ketimpangan ekonomi, diduga keras menjadi dalang dalam beberapa kasus pelecehan seksual di kampus. Dalam kesaksian penyintas, Pogge tidak segan-segan akan menjatuhkan sanksi kepada penyintas jika kemauannya tidak dituruti.

Satu tahun kemudian, masih di kampus Amerika Serikat, kampus ternama Universitas California Berkeley dikejutkan dengan kasus serupa. Profesor filsafat, John Searle, dilaporkan oleh mahasiswinya -yang juga sebagai anggota asisten dosen, dijuluki searle girls- karena melakukan tindakan yang tidak etis; menonton film porno di depan asistennya, mengelus-elus kaki mahasiswinya, dan membuat komentar seksis. 

Dari kedua kasus ini, isu pelecehan seksual di kampus akhirnya menjadi isu nasional di Amerika Serikat dan mendorong sejumlah kampus lain untuk mengungkap kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen.

JALAN DAMAI

Kasus pelecehan seksual di kampus di Indonesia belum menjadi perhatian khusus bagi petinggi perguruan tinggi. Kisah mahasiswi FIB Universitas Diponegoro, Bunga (bukan nama sebenarnya), yang dilecehkan oleh dosennya, membuktikan hal ini. Setelah Gia melaporkan ke dekan, ternyata, dekan yang saat itu Redyanto Noor, hanya memarah-marahi pelaku tanpa memberikan sanksi berat.

Setelah kasus Gia, sang dosen kembali melakukan aksi serupa kepada mahasiswi lain. Kepada Tirto.id, Humas Universitas Diponegoro Nuswantoro, merespons kasus ini dengan mengatakan melalui pesan singkat "Yang akan dibicarakan kasus pelecehan yang mana? Kalau sudah diselesaikan di Fakultas dan para pihak sudah legowo semua, apakah perlu dibicarakan? Saya belum tahu posisi kasusnya. Jadi saya belum bisa membuat statement."

Jalan damai sepertinya masih dianggap sebagai upaya solutif. Padahal, penyintas mengalami trauma berkepanjangan yang seharusnya diperhatikan dan tidak bisa terselesaikan dengan selegowo itu. Pelaku bisa saja melakukan aksi serupa dengan orang yang berbeda, dan lagi-lagi, bisa jadi kampus menempuh jalan damai tanpa memberikan efek jera kepada pelaku.

Strata sosial sang dosen membuat mahasiswa semakin takut untuk melaporkan kasus ini dan memilih untuk bungkam. Dosen memiliki hak prerogatif untuk memberikan nilai dan berhak untuk tidak meluluskan mahasiswa. Reputasi dosen sebagai insan akademik yang menyandang gelar pendidikan minimal magister, digeneralisasi sebagai sosok yang sempurna tanpa cacat etis.

Kepercayaan yang dibangun dari profesi sebagai dosen, justru akan menyudutkan para penyintas jika melaporkan kasus tersebut. Mahasiswa yang menjadi korban atas tindakan tidak senonoh sang dosen memilih bungkam dan cari aman untuk keberlangsungan pendidikan, nama baik keluarga dan kampus.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X