Sofyan Basir Dinonaktifkan dari PLN

- Kamis, 25 April 2019 | 14:00 WIB

JAKARTA – Karir Sofyan Basir di PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) terancam berakhir. Selain ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Sofyan juga telah dinonaktifkan dari jabatannya sebagai Direktur Utama (Dirut) PT PLN. Posisi strategis itu diisi M. Ali (Direktur Human Capital Management PT PLN) sebagai pelaksana tugas (plt).

Penonaktifan Sofyan dari jabatan dirut dilakukan sesuai dengan anggaran dasar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) PT PLN. Sekretaris Kementerian BUMN Imam Apriyanto mengatakan, pihaknya mempunyai waktu 30 hari untuk melakukan proses pergantian dirut. ”Dan untuk sementara mengangkat plt, Pak Muhammad Ali,” terangnya, kemarin (24/4).

Selain anggaran dasar, pergantian dirut maksimal 30 hari itu juga merujuk pada Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-03/MBU/02/2015. “Siang tadi (kemarin, Red) dekom (dewan komisaris) bergerak cepat, dan dengan pertimbangan kegiatan operasional perusahaaan tidak boleh terganggu untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dibidang kelistrikan,”  urainya.

Imam mengatakan, selain untuk memberikan pelayanan maksimal ke masyarakat, pergantian dirut dilakukan sebagai wujud bahwa Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) juga tetap menghormati proses hukum Sofyan yang sedang bergulir di KPK.

Senior Vice President (SVP) Hukum Korporat PLN Dedeng Hidayat mengatakan saat ini Sofyan Basyir tengah berada di Perancis untuk mencari pendanaan. “Insha Allah minggu ini sudah ada di tanah air,” ucapnya kemarin (24/4). Hanya saja, pihaknya tidak menjabarkan secara detail kegiatan Sofyan selama di sana.  

”Mungkin berangkat Minggu atau Senin. Detail pendanaan untuk apa belum ada infonya,” imbuhnya. Informasi yang dihimpun Jawa Pos, Sofyan ke Paris bersama istri dan rombongan direksi PLN. Mereka pergi ke luar negeri sebelum KPK mengumumkan penetapan tersangka penerimaan janji terkait proyek pembangunan PLTU Riau 1.

Disisi lain, Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan pihaknya kemarin mulai memeriksa saksi untuk tersangka Sofyan. Seorang saksi yang dipanggil adalah Tahta Maharaya, staf ahli Eni Maulani Saragih. Pria yang merupakan keponakan Eni itu dimintai keterangan seputar uang yang diterima Eni dari bos Blackgold Natural Resources Johannes B. Kotjo.

Di persidangan Eni di Pengadilan Tipikor Jakarta, Tahta mengaku pernah diperintahkan Eni untuk menukarkan uang miliaran rupiah ke dalam pecahan Rp 20 ribu. Uang itu kemudian diantarkan ke Temanggung, Jawa Tengah untuk kebutuhan pemilihan kepala daerah (pilkada) suami Eni, M. Khadziq. Total uang yang dibawa Tahta saat itu sebesar Rp 7,63 miliar.

Terkait posisi Sofyan di luar negeri, Febri menyatakan pihaknya tidak mempermasalahkan. Namun, KPK berharap Sofyan kooperatif ketika dipanggil penyidik untuk menjalani pemeriksaan sebagai tersangka. ”Apakah berada di Jakarta, berada di luar kota atau di luar negeri, misalnya, untuk melaksanakan tugas silahkan saja,” terangnya.

Febri mengatakan, pihaknya berharap Sofyan atau saksi lain yang nantinya dipanggil untuk bersikap kooperatif dan memberikan keterangan secara jujur. Pun, bila ada upaya untuk menghalangi saksi memberikan keterangan, KPK tidak segan menerapkan pasal menghalangi penyidikan atau obstruction of justice. ”Kalau ada upaya untuk menghambat penanganan perkara maka ada risiko pidana,” tegasnya.

Disisi lain, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengapresiasi langkah KPK menetapkan Sofyan sebagai tersangka keempat dalam skandal suap pembangunan PLTU Riau 1. Menurut dia, nama Sofyan yang beberapa kali disebut dalam persidangan terdakwa Eni, Kotjo dan Idrus Marham diduga kuat turut serta menerima suap dari Kotjo.

Adnan berharap KPK tidak berhenti pada Sofyan. Dia berharap penetapan tersangka itu bisa menjadi pintu masuk bagi KPK untuk mengungkap lebih jelas dugaan adanya mafia di sektor energi. ”Kami mendorong KPK untuk mengungkap secara tuntas keterlibatan pihak-pihak lain dalam perkara korupsi PLTU Riau 1,” ujarnya.

Disisi lain, ICW juga meminta KPK untuk mewaspadai “serangan balik” dari pihak-pihak tertentu yang merasa dirugikan atas penetapan Sofyan sebagai tersangka. Serangan balik itu bisa berupa intimidasi, kriminalisasi atau bentuk ancaman lain yang bertujuan menghambat pengungkapan pekara korupsi kakap tersebut.

Peringatan itu merujuk pada peristiwa-peristiwa teror dan ancaman terhadap KPK ketika mengungkap kasus tingkat tinggi (big fish). Ketika mengusut keterlibatan Setya Novanto dalam korupsi kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) 2017 lalu, misalnya, KPK mendapat teror berupa penyerangan air keras yang menimpa Novel Baswedan. Kala itu, Novel merupakan penyidik kasus e-KTP.

Berdasar riwayat itu, ICW pun mendorong Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk mendukung kerja pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK pada perkara Sofyan. ”Kami mendorong Presiden Jokowi mendukung kerja pemberantasan korupsi yang sedang dilakukan KPK pada perkara ini sebagai bagian dari upaya pembersihan BUMN,” imbuh dia. (vir/tyo)

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ibu Melahirkan Bisa Cuti hingga Enam Bulan

Selasa, 26 Maret 2024 | 12:30 WIB

Layani Mudik Gratis, TNI-AL Kerahkan Kapal Perang

Selasa, 26 Maret 2024 | 09:17 WIB

IKN Belum Dibekali Gedung BMKG

Senin, 25 Maret 2024 | 19:00 WIB

76 Persen CJH Masuk Kategori Risiko Tinggi

Senin, 25 Maret 2024 | 12:10 WIB

Kemenag: Visa Nonhaji Berisiko Ditolak

Sabtu, 23 Maret 2024 | 13:50 WIB

Polri Upaya Pulangkan Dua Pelaku TPPO di Jerman

Sabtu, 23 Maret 2024 | 12:30 WIB

Operasi Ketupat Mudik Dimulai 4 April

Sabtu, 23 Maret 2024 | 11:30 WIB

Kaji Umrah Backpacker, Menag Terbang ke Saudi

Jumat, 22 Maret 2024 | 20:22 WIB
X