Proses Pembuatan Jumat sampai Senin, Pengiriman Dikawal Khusus

- Jumat, 15 Februari 2019 | 11:34 WIB

Diinjeksi samarium tak membuat pasien kanker jadi lemas dan mengantuk sehingga bisa beraktivitas normal. Sayang belum tersebar merata ke seluruh kota di tanah air.

 

M. Hilmi Setiawan, Jakarta

 

TAK ada lagi efek lemas dan kantuk. Nyeri di tulang perlahan-lahan juga menghilang. Dua suntikan berjarak tiga bulan itu benar-benar membuat kondisi badan Evie Diancha Ebling terasa enak.

’’Seperti mendapatkan tenaga baru,’’ kata perempuan 37 tahun itu saat ditemui Jawa Pos di RSCM, Jakarta, kemarin (14/2).

Evie adalah penderita kanker payudara. Dua suntikan yang dia dapat pada April dan Juli 2017 itu adalah injeksi Samarium-153 EDTMP (etilen diamin tetra metil fosfonat). Produk radiofarmaka hasil kerja sama Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) dan Kimia Farma tersebut berguna untuk terapi paliatif penderita kanker.

Nyeri di sekujur tubuh adalah bagian dari palagan seorang penderita kanker payudara seperti Evie. Sejak pertama didiagnosis kanker pada 2014, perempuan asal Palembang, Sumatera Selatan, itu mengaku kerap merasakannya di bagian leher, tulang pinggang, rusuk, bahu, sampai ke tulang kepala.

’’Seperti ditusuk-tusuk,’’ ungkapnya.

Untuk mengurangi rasa sakit itu, dia menggunakan pereda nyeri resep dokter yang mengandung morfin. Tapi, efeknya, dia ketagihan. Hingga tidak bisa beraktivitas.

Bawaannya ngantuk terus. Sampai akhirnya, terapi pereda nyeri dengan obat yang mengandung morfin tersebut dihentikan.

Perempuan 37 tahun itu kemudian dianjurkan dokternya untuk menggunakan terapi dengan samarium untuk menggantikan morfin. Evie tak langsung menerima. Dia mencari informasi dulu dari beberapa literatur. Sebelum akhirnya bersedia menggunakannya.

Widyastuti, peneliti Batan yang terlibat dalam riset samarium sejak awal, menerangkan, penelitian samarium awalnya merupakan proyek dari Badan Atom Dunia (International Atomic Energy Agency) pada 1996–1997. Ketua tim penelitian samarium itu adalah Prof Swasono R. Tamat.

Pada 1997, lanjut perempuan 60 tahun tersebut, penelitian selesai. ’’Di tahun itu juga dikirim ke RS dr Sardjito, Jogjakarta,’’ jelas Widyastuti saat ditemui di Pusat Teknologi Radioisotop dan Radiofarmaka (PTTR), kompleks Batan, Puspiptek, Serpong, Tangerang Selatan, Jumat pekan lalu (8/2).

Seiring berkembangnya regulasi perizinan di dunia medis, pada 2008 ada kewajiban mendaftarkan lagi samarium ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Izin edar samarium Batan akhirnya keluar pada 2016.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X