TANJUNG SELOR–Pemprov Kaltara melalui Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Disperindagkop-UKM), terus berupaya meningkatkan produksi industri manufaktur mikro dan kecil. Hal itu akan memberikan pengaruh positif bagi pelaku usaha di Kaltara.
Kepala Disperindagkop-UKM Hartono mengatakan, pembangunan industri merupakan bagian integral dari pembangunan nasional yang harus dilaksanakan secara terpadu. Menurut dia, perlu juga adanya kelanjutan fungsi sumber daya industri itu sendiri untuk dapat menopang kehidupan manusia antargenerasi.
Penyebab terjadinya penurunan produksi industri manufaktur di Kaltara, karena terjadinya penurunan produksi kayu di Kaltara. “Kayu ini yang punya izin HPH (hak pengusahaan hutan) tidak banyak. Karena HPH telah dibatasi,” ujarnya.
Sementara itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltara menunjukkan terjadinya penurunan produksi industri manufaktur mikro kecil (IMK) hingga 6,05 persen. Namun, pertumbuhan produksi industri manufaktur mikro dan kecil pada triwulan IV/2018 terhadap triwulan IV/2017 mengalami kenaikan 5,66 persen.
Jenis IMK di Kaltara adalah meliputi industri kayu, barang dari kayu, barang dari kayu dan gabus (tidak termasuk furnitur) dan barang anyaman dari bambu, rotan dan sejenisnya. Jenis industri yang mengalami penurunan itu ialah industri kayu barang dari kayu, anyaman rotan dengan persentase -26,67 persen.
Kemudian, industri barang logam bukan mesin dan peralatannya sebesar -18,42 persen dan industri pengolahan lalinnya -9,32 persen. Untuk rotan yang masih satu kelompok dengan industri kayu, penjualannya tidak banyak, karena pembeli dari mancanegara yang datang ke Kaltara tidak sebanyak triwulan sebelumnya.
“Triwulan sebelumnya tinggi, karena pada saat-saat itu banyak buyer dari luar yang datang untuk membeli. Ekspor meningkat sehingga industrinya tetap jalan,” ungkapnya.
Sementara itu, yang mengalami kenaikan produksi adalah industri makanan 4,02 persen, tekstil 20,65 persen, percetakan dan reproduksi media rekaman 35,46 persen, barang galian bukan logam 5,60 persen, farmasi, obat dan obat tradisional 2,28 persen, alat angkutan lainnya 0,49 persen, dan industri furniture 5,72 persen. (humas/kri/k8)