TARAKAN – Pembayaran upah atau gaji di bawah upah minimum kabupaten/kota (UMK) seharusnya tak boleh dilakukan. Namun, berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, kemungkinan masih ada pelaku usaha yang belum bisa menerapkan ketentuan tersebut. Terutama perusahaan yang bergerak di sektor jasa.
Perkiraan itu diutarakan Kepala Bidang Ketenagakerjaan Dinas Ketenagakerjaan dan Perindustrian Kota Tarakan Hanto Bismoko. Menurutnya, sesuai aturan, buruh semestinya memang diupah sesuai UMK.
“Namun dalam penerapannya, kami juga tidak mempersoalkan bila ada pengusaha yang belum membayar upah buruhnya sesuai UMK, selama kedua pihak sepakat dan tidak ada tuntutan dari pihak yang dirugikan. Seperti di toko-toko yang ada memberikan gaji Rp 1,5 juta, Rp 1,8 juta. Ada juga yang Rp 2 juta,” ujar Hanto, Rabu (30/1).
Hanto memperkirakan nominal upah di bawah UMK itu sudah disepakati berdasar kemauan kedua pihak, dalam hal ini pengusaha dan pencari kerja. Biasanya, kata dia, pencari kerja menerima sebagai batu loncatan agar tidak menganggur dan sambil mencari pekerjaan yang lebih baik. Sementara, alasan pengusaha adalah demi kemanusiaan.
“Sama-sama mau karena butuh pekerjaan. Kadang-kadang sudah banyak karyawan jadi alasan kemanusiaan, kasihan. Enggak ada kerja timbul masalah sosial, akhirnya diterima,” bebernya.
Kendati demikian, sampai kemarin pihaknya belum menerima laporan dari pengusaha yang meminta penangguhan maupun dari buruh yang mengeluhkan penerapan UMK 2019 yang sebesar Rp 3.462.192.
Meski kewenangan pengawasan terhadap penerapan UMK sudah beralih ke Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Dissosnaker) Kaltara, pihaknya bersedia melayani konsultasi terkait penerapan UMK. (kpg/san/k16)