“Kami Tidak Boleh Ambil Keuntungan Lain”

- Jumat, 25 Januari 2019 | 08:12 WIB

PERBEDAAN pembiayaan kepemilikan rumah antara bank konvensional dan bank syariah terletak pada akad. Sales Head BNI Syariah Cabang Balikpapan Bambang Haryadi menjelaskan, pihaknya menerapkan akad murabahah atau jual beli. Mekanismenya, bank syariah membeli unit dari developer. Setelah menjadi hak milik bank, kemudian bank menjualnya kepada nasabah.

Ini berbeda dengan mekanisme yang berjalan di bank konvensional. Tidak ada akad. Tetapi hanya hutang piutang yang munculnya nanti berpotensi riba. “Jadi yang terpenting pada akadnya, bukan berarti seluruh bank termasuk bank syariah juga riba seperti pandangan selama ini,” tuturnya.

Selain akad, perbedaan lainnya yakni angsuran. Dalam pembiayaan rumah, bank syariah menerapkan angsuran yang pasti hingga jatuh tempo. Dengan skema pembiayaan maksimal 20 tahun dan kisaran harga rumah Rp 250-400 juta.

Adanya angsuran yang pasti membuat nasabah sejak awal jual beli sudah tahu berapa jumlah pembayaran setiap bulan. “Konsumen juga mengetahui berapa margin atau keuntungan yang diperoleh bank dari hasil penjualan itu,” tuturnya.

Bambang menjelaskan, margin berbeda dengan bunga milik bank konvensional. Sebab margin berbentuk angka keuntungan yang pasti. Tidak memakai perhitungan persentase. Sehingga BNI syariah secara terbuka menjelaskan berapa harga dasar dan keuntungan (margin) yang mereka peroleh dari konsumen dengan program cicilan itu.

“Tapi harga tidak akan bertambah, semua sesuai dengan akad. Margin dan harga ini tidak boleh dipisahkan dalam akad. Sementara administrasi, appraisal, provisi semua gratis. Kami tidak boleh mengambil keuntungan lain,” bebernya.

Dia mengakui, sebagian besar masyarakat menganggap cicilan di bank syariah lebih mahal dari bank konvensional. Sebab dalam bank konvensional terdapat tawaran angsuran fix selama 3-5 tahun. Hal itu yang membuat bank konvensional terasa lebih murah di awal daripada bank syariah. Padahal setelah itu, nilai angsuran bergerak mengikuti suku bunga.

“Sehingga justru menyulitkan nasabah, mereka tidak mendapat kepastian berapa total nilai rumah tersebut hingga akhir cicilan,” ungkapnya. Menurutnya, mekanisme pembiayaan rumah di bank syariah tidak ribet. Pertama jika nasabah sudah memenuhi SOP termasuk penilaian kemampuan membayar, tinggal melakukan akad jual beli dan wakalah yakni sebuah surat kuasa dari bank kepada nasabah untuk membeli rumah. Begitu akad jual beli selesai, selanjutnya proses balik nama.

“Kemudian BNI Syariah tidak ada denda seperti yang selama ini jadi isu besar. Ketika ada pembayaran macet, kita komunikasikan untuk mencari solusi,” tuturnya. Begitu satu hari saja telat membayar, pihak bank akan melakukan pendekatan.

Menurutnya tidak ada denda membuat komunikasi antara bank dengan nasabah harus lebih aktif. Salah satu opsi yang ditawarkan pada konsumen adalah reschedule angsuran. Perubahan skema dan biaya angsuran mengikuti kemampuan konsumen saat itu. Dengan catatan, reschedule tidak boleh mengubah keuntungan yang disepakati atau margin. Jadi harga jual tetap tidak boleh berubah dari akad.

“Boleh bayar lebih murah untuk sementara, nanti kembali ke cicilan awal mengikuti kemampuannya saat keuangan sudah lebih baik,” katanya. Kemudian apabila nasabah sudah merasa tidak mampu lagi, mereka bisa melakukan penjualan rumah tersebut. Baik menjual sendiri atau dengan bantuan pihak bank. Dia menyebutkan, jika ada kelebihan keuntungan dari penjualan maka akan kembali kepada nasabah. Namun selama masa angsuran, sertifikat rumah berada di bank sebagai jaminan jika konsumen melakukan wanprestasi. Legalitas baru akan diberikan setelah angsuran lunas.

“Walau syariah kita tetap masih harus mengikuti regulasi atau aturan OJK dan BI. Contoh keberadaan DP yang menjadi SOP,” imbuhnya. Selain tetap ada jaminan, calon konsumen BNI Syariah harus lolos dalam BI check in atau yang kini bernama SLIK.

Bambang beralasan, SLIK merupakan satu-satunya cara yang dapat digunakan untuk mengetahui karakter nasabah. Jadi mekanisme mengenal track record nasabah melalui SLIK.

Sementara untuk asuransi jiwa dan kebakaran, semua bergantung pada keinginan konsumen. BNI Syariah tidak mewajibkan, asuransi bisa saja ditiadakan dalam perjanjian jual beli tersebut. “Namun ada pembuatan surat pernyataan dari ahli waris dalam bentuk nota rill yang menyebutkan dia tahu bahwa pembiayaan ini tidak ditutup asuransi jiwa,” ucapnya.

Dia mengakui, risiko sangat tinggi dipegang developer syariah yang tidak melibatkan bank dalam transaksi jual beli. Terutama saat ada pembayaran macet, maka beban atau tanggung jawab developer sangat besar. Berapa lama mereka baru dapat cash flow, sementara bank lebih cepat melakukan pencairan secara bertahap sesuai progress pembangunan. Apalagi BNI Syariah juga tidak merasa tersaingi dengan keberadaan developer syariah.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X