TANA PASER – Kelapa sawit merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Paser yang dampak ekonominya langsung dirasakan masyarakat. Karena itu, sewaktu tandan buah segar (TBS) sawit harganya anjlok, roda perekonomian masyarakat menjadi terganggu.
Sejak pertengahan 2018, para petani beserta asosiasi pengusaha termasuk pemilik perusahaan dan perkebunan, dilanda gejolak besar. Berkali-kali pertemuan yang difasilitasi Pemkab Paser maupun DPRD Paser, tidak menemukan solusi guna mengatasinya.
Lantas terakhir, petinggi PTPN X III dari Pontianak hadir membahas terkait kemitraan antara pabrik dan petani mandiri maupun swadaya. Pada waktu bersamaan, Pemkab Paser bersama DPRD Paser tengah menanti rampungnya Peraturan Daerah (Perda) tentang Tata Niaga dan Pembatasan Angkutan Buah Sawit yang menanti penomoran dari Pemerintah Provinsi Kaltim. Setelah sebelumnya sudah disahkan melalui paripurna.
Wakil Ketua Pansus Perda Tata Niaga Sawut Dody Satwika Nasution mengatakan, pembinaan dan pengawasan, masuk draf perda. Pengawasan dilakukan untuk menjamin penegakan hukum sedangkan sanksi administratif juga diatur terkait tata niaga buah sawit ini. Bupati menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha perkebunan jika dalam pengawasan tata niaga buah sawit, ditemui pelanggaran.
“Perusahaan perkebunan atau kelembagaan pekebun yang melakukan jual beli tanpa perjanjian kemitraan, dikenai sanksi administratif peringatan tiga kali. Dalam interval waktu peringatan satu bulan untuk membuat kemitraan. Terhadap perusahaan perkebunan, akan dikenai pencabutan izin usaha dan dapat diusulkan hak guna usaha. Adapun terhadap kelembagaan pekebun, dikenai pencabutan izin usaha,” ujar Dody yang politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu.
Terhadap pelaku usaha pengolahan perkebunan kelapa sawit yang melakukan transaksi jual beli TBS tidak sesuai Pasal 7 Ayat 1 dikenai sanksi, mulai pemberikan peringatan. Jika sampai peringatan ketiga tidak dipatuhi, dikenai sanksi berupa pembekuan izin operasional pengolahan oleh bupati Paser.
Pelaku usaha pengumpulan dan penampungan sementara TBS yang tidak memiliki izin usaha pun dikenai sanksi penutupan lokasi usaha atau denda maksimal Rp 50 juta. Pendapatan dari denda tersebut akan disetor ke kas daerah.
Sekretaris Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) Kaltim M Fitriansyah Mubarak berharap perda tersebut bisa lebih menguatkan implementasi Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Pedoman Penetepan Harga Pembelian TBS Kelapa Sawit Produksi Pekebun.
“Saya belum hafal isi perda tersebut, namun yang terpenting acuan penetapan harga TBS mengikuti Permentan, yakni harga ketetapan diberlakukan kepada petani yang bermitra dengan pihak perusahaan dan pabrik perkebunan. Jelas syarat-syaratnya sampai pada sanksi,” katanya.
Fitriansyah menegaskan yang harus segera dilakukan Pemkab Paser ialah membantu memitrakan petani kepada pabrik kelapa sawit (PKS) melalui perda tersebut tentunya bisa lebih menegaskan penjabaran dari Permentan.
Kabag Bina Ekonomi I Setda Paser M Yasin menyampaikan, dari 15 pabrik kelapa sawit (PKS) di Paser, empat diantaranya tidak memiliki kebun. Yang memiliki kebun sudah diundang pemerintah dan diberikan surat edaran agar segera membangun pabrik. Terkait harga TBS di bawah ketentuan, dia menilai masyarakat dan koperasi yang memiliki plasma dan swadaya, tidak bisa menuntut karena harus memiliki kemitraan dulu dengan PKS. Difasilitasi PTPN XIII.
“Terkait kemitraan sudah diusulkan ke seluruh pabrik. Memang saat ini yang memiliki kemitraan dengan pabrik hanya PTPN XIII. Belum ada petani mandiri dan swadaya. Itu pun dari PTPN XIII ada yang bermasalah,” jelas Yasin. (/jib/san/k16)