Waspada Rayuan Kosmetik Ilegal

- Senin, 21 Januari 2019 | 08:42 WIB

Kulit putih, mulus, dan bercahaya jadi impian banyak perempuan, bahkan, pria metroseksual masa kini. Demi tampil lebih menarik, risiko diabaikan. Ingin hasil instan tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam.

DUDUK termenung di depan meja rias, Natasya tak berkata banyak. Perempuan berkulit putih itu hanya bisa memendam rasa kesal. Dua pekan mengoleskan krim pemutih wajah yang dibeli dari toko daring, hasil yang diinginkan tak tampak. Justru sebaliknya, wajahnya berubah merah. “Seperti terbakar,” katanya kepada Kaltim Post Kamis pekan lalu.

Memori lima tahun lalu memang tak pernah dilupakan dan hingga kini menjadi alarm biologis kala memilih kosmetik. “Kapok merasakan hal sama lagi.”

Tak hanya itu, kisah dia, satu lagi yang harus diperhatikan ialah jangan mudah terpengaruh iklan model kosmetik. Boleh jadi kulitnya memang cocok dengan bahan yang digunakan dan belum tentu pas dengan orang lain. “Lima tahun lalu kulit saya berubah karena kena pengaruh. Soalnya kulitnya putih banget dalam dua minggu,” ujarnya.

Dia menuturkan, memilih kosmetik memang susah-susah gampang. Merek dari luar belum tentu menjamin. Bebebapa waktu lalu, dia sempat menggunakan toner atau pembersih wajah. Mahasiswa semester akhir Universitas Mulawarman itu lupa kulitnya kategori sensitif.

“Jadi saya coba pakai selama tiga hari, rasanya pedih. Saya pikir memang efeknya, sebab lazim toner punya kandungan alkohol. Nah, hari keempat itu kulitku memerah dan timbul jerawat,” sebutya. Selama sepekan dia terus menggunakan kosmetik tersebut. Harapan kulit menjadi normal pupus, sebab efek samping penggunaan toner begitu terasa. Kulitnya memerah dan itu diperparah dengan serangan jerawat kecil di pipi dan jidat. “Lumayan malu sebab selalu ditanya. Perlu waktu tiga bulan kulit kembali normal,” akunya.

Wajar demikian. Sebab, lazimnya perempuan selalu mengharapkan efek maskimal dari kosmetik yang digunakan, seturut dengan pendapat Retno Tranggono mengenai kosmetik yang digunakan untuk menambah daya tarik dalam Kiat Apik Menjadi Sehat dan Cantik (1996 hal, 29). Sayangnya tak semua kulit bisa menerima bahan-bahan dari kosmetik tersebut. Menurut Yuswati dalam Tata Rias Kulit (1996 hal, 60-62) disebutkan kulit digolongkan menjadi tujuh jenis, yakni; kulit normal, berminyak, berminyak sensitif (sensitive oily skin), kombinasi (campuran), kering, kering sensitif, dan kulit gersang (dehydrated skin). “Tiap kulit punya karakternya masing-masing,” tambah Tasya, saapan karibnya.

Menurut dia, semakin baik bahan pembuat kosmetik dan ramah dengan wajah hasilnya akan senada dengan pengguna. Namun, sebaliknya apabila bahan yang digunakan kurang baik, cara pengolahannya juga demikian serta formulasinya tak sesuai sesuai dengan manusia dan lingkungan, maka pengguna akan merasakan reaksi alergi, gatal-gatal, panas, bahkan terjadi pengelupasan (Retno Tranggono, hal 32).

Terkadang Tasya juga diserang dilema memasarkan kosmetik tak berizin lewat media sosialnya.

Sebab, biasanya dia hanya mau endorse yang punya izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Meski demikian, sebagai influencer dia tak mau gegabah memberikan promosi kepada pengikutnya. “Saya selalu sebut enggak semua produk cocok dengan kamu. Kondisi kulitku kering dan sensitif, sebelum pakai ada baiknya memeriksa bahan terlebih dahulu. Jangan asal pakai,” terangnya.

Dia menambahkan, memilih ragam kosmetik memang agak sukar. Belum lagi jika produsen mengemas kosmetik dengan menarik dan kelihatan berkelas. Intinya sebelum membeli ada baiknya periksa dulu standarnya. Mulai bahan yang digunakan aman untuk kulit atau tidak, kemudian tanggal produksi, dan terakhir punya izin dari BPOM atau tidak. “Jadi memang harus sedikit hati-hati. Bagi perempuan kulit wajah itu aset yang sangat penting,” jelasnya.

Nah, menurut Dortch S dalam Women and the Cosmetics Counter (1997), konsep cantik secara tidak sadar telah dibentuk oleh media massa di dalam benak remaja melalui iklan kosmetik. Promosi kosmetik melalui iklan di televisi sering diperankan seorang model bintang iklan dengan identitas fisik, yaitu berkulit putih, berambut panjang dan lurus, tubuh tinggi dan langsing telah menjadi stereotype pemisah antara

perempuan yang cantik dan tidak cantik.

Kaltim Post meriset 80 perempuan di Kaltim dengan rentang usia 17 tahun. Sebayak 17,5 persen responden menjawab sudah menggunakan kosmetik sejak usia 17 tahun, selebihnya 18–25 tahun (selengkapnya lihat grafis, hal 2). Hal inilah yang menyebabkan perempuan lebih konsumtif terhadap kosmetik.

“Padahal, kecantikan itu punya ragam standar. Namun yang paling dari semuanya adalah sikap dan perilaku. Percuma cantik jika tak bisa membawa diri,” tambahnya.

Halaman:

Editor: wahyu-Wahyu KP

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X