Nelayan Hanya Kaya Lautan

- Senin, 14 Januari 2019 | 08:38 WIB

Takkan ada ikan gurih di meja makan, tanpa ada jerih payah nelayan.

AWAN hitam tampak bergulung-gulung di horizon utara. Perlahan-lahan mendekati kapal motor milik Herman. Walaupun telah lama mengenal laut Tanjung Batu, Berau, belum tentu bisa bersahabat dengan samudra. Lautan bisa saja jadi ganas tiba-tiba. Batinnya memintanya kembali ke rumah, dan dalam sekali entakan mesin perahunya meraung garang membelah laut menuju daratan. Lagi pula, sejumlah ikan sudah memenuhi kapalnya. Kembali jadi pilihan terbaik.

Rasa waswas itu senada dengan pendapat Mirojul dan Taufik dalam jurnal berjudul Nelayan, Lingkungan, dan Perubahan Iklim (2017, Vol 68, hal 28) menyatakan, kondisi sosial dan ekonomi nelayan di Indonesia memprihatinkan tidak terlepas dari pola kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi terlebih saat ini.

Tak hanya itu, nelayan dihadapkan dengan ancaman perubahan iklim. Laporan Food and Agriculture Organization of The United Nation (FAO) yang berjudul The Impact of Disasters on Agriculture and Food Security pada 2015 juga menyebutkan, bahwa kekeringan banjir, badai, dan bencana lain yang dipicu perubahan iklim telah meningkat dalam frekuensi dan tingkat keparahan selama tiga dekade terakhir.

Seturut itu dalam laporan United Nation Development Program (UNDP) pada 2007 dengan judul Sisi Lain Perubahan Iklim: mengapa Indonesia harus beradaptasi untuk melindungi rakyat miskinnya menyatakan naiknya permukaan air laut menggenangi wilayah pesisir sehingga akan menghancurkan tambak-tambak ikan di Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.

Nah, pahit-manis menjadi seorang nelayan dengan kapasitas kapal dan alat tangkap yang mungkin di bawah standar, telah dijalani Herman. Dia tidak berpikir untuk pindah ke wilayah perairan lain, pesisir Berau telah banyak memberinya kehidupan. Apalagi, kapasitas kapal yang dia miliki hanya mampu berlayar sejauh 2 mil.

Tentu, relatif jauh berbeda dengan kapal-kapal perikanan berkapasitas puluhan gross ton (GT) yang bisa menembus hingga ke perairan 12 mil. “Kapal saya cuma bisa sampai 2 mil dari daratan,” terangnya.

Untuk sejahtera, sebenarnya dirinya enggan berkomentar banyak. Sebab jika melaut sehari atau dua hari lantas pulang membawa ikan, itu adalah berkat yang tak terhingga. Walau demikian, dia juga berharap pemerintah bisa mengulurkan bantuan. “Minimal kapasitas kekuatan kapal bertambah,” harapnya.

Harapan dari Herman sebenarnya sudah pernah dituangkan Mahyuddin dalam Kebutuhan Teknologi untuk Pengembangan Penangkapan Ikan (2007).  Disebutkan produktivitas nelayan tergolong rendah didominasi kapal berukuran kecil. Yaitu perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal ikan berukuran kurang dari 10 GT. Kondisi ini menyebabkan nelayan memiliki hari layar yang singkat (one day fishing), hasil tangkapan sedikit, kualitas ikan kurang terjaga atau kehilangan mutu (losses).

Mengenai rancangan pemerintah membentuk Peraturan Daerah terkait Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) di pesisir Kaltim, dirinya enggan ambil pusing asalkan tak mengganggu mata pencariannya dan kawan-kawan lain mencari ikan di laut.

“Jika dibatasi atau dilarang-larang oleh aturan, bagaimana kami mau hidup. Jadi, kami harap kebijaksanaan saja,” pintanya.

Setali tiga uang, Ketua Kerukunan Nelayan Muara Badak, Kutai Kartanegara (Kukar), Andi Basri, mengatakan, saat ini nelayan di Kecamatan Muara Badak banyak mengeluh. Terutama dengan adanya aktivitas bongkar muat batu bara yang berada di lokasi tangkapan nelayan. Di Muara Badak, terdapat sekitar 3 ribu nelayan tradisional. Namun, yang teridentifikasi dan masuk kerukunan nelayan sekitar 1.700 nelayan.

Pentingnya infrastruktur melaut serta penjualan ikan di Muara Badak begitu penting. Mengingat salah satu mata pencarian warga setempat yang cukup besar adalah sebagai nelayan. Melihat persoalan aktivitas nelayan yang kerap bersinggungan dengan bongkar muat batu bara tersebut sering kali dibahas dalam forum resmi pemerintahan. Baik di tingkat kabupaten hingga provinsi. Namun, tindak lanjut dari hasil pertemuan selama ini belum membuahkan hasil.

“Hasil tangkapan menurun saat ini. Padahal, kami ini menggantungkan hidup hanya dari laut. Apa jadinya jika tempat mencari nafkah kami hilang atau rusak. Padahal dulu saking banyaknya ikan yang ditangkap, sampai dibuang di laut karena kapal semakin berat,” ujarnya.

Nelayan Muara Badak juga beberapa kali melakukan hearing dengan legislatif dan pemerintah agar mendesak menindaklanjuti tuntutan mereka terkait aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Muara Berau, Kecamatan Muara Badak. “Aktivitas bongkar batu bara yang selama ini terjadi hingga lebih dari sepuluh tahun itu, harus dievaluasi terlebih dahulu,” ujarnya lagi.

Halaman:

Editor: izak-Indra Zakaria

Tags

Rekomendasi

Terkini

Siapkan Formasi Fresh Graduate Pindah ke IKN

Rabu, 24 Januari 2024 | 23:00 WIB

Truk Ambles di Drainase Proyek DAS

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:31 WIB

Pengedar Sabu Diciduk Polisi saat Terlelap di Kamar

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:30 WIB

Anies Prioritaskan Ketersediaan Lapangan Kerja

Rabu, 24 Januari 2024 | 11:27 WIB

Jepang vs Indonesia, Maju Tak Gentar...!!

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:23 WIB

ASTAGA..!! Ada 26 Motor Hilang di Depan BIGmall

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:16 WIB

Menantu Luhut Jadi Komisaris Utama Pindad

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:11 WIB

Babinsa Sungai Dama Antar Warga ke Rumah Sakit

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:09 WIB

18 Kecamatan di Kukar Kekurangan Pengawas TPS

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:08 WIB

Algaka Pelanggar di Kukar Mulai Ditertibkan

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB

Karena Pemilu, Kasus Korupsi KPU Mahulu Terhambat

Rabu, 24 Januari 2024 | 10:05 WIB
X