Berhasil lolos dan menjadi satu-satunya kontingen Indonesia yang menghadiri Talent for Governance Program 2018 di Belanda serta menjadi pemuda beruntung yang dapat mengunjungi Amerika Serikat dalam YSEALI 2017, Idfi Septiani tidak mau pulang ke Indonesia dengan tangan hampa.
“Ada yang harus ku berikan untuk Tanah Airku. Ilmu yang saya dapat akan sebisa mungkin saya terapkan dan bagikan,” ungkapnya semangat. Idfi adalah lurah di Kelurahan Jawa, Samarinda. Dia menjabat sejak 2013 saat Syaharie Jaang sebagai wali kota membuka lelang jabatan terbuka. Saat ada kesempatan itu, alumnus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Bandung tersebut segera mendaftarkan diri sebagai lurah.
Pada usianya yang ke-25, dia resmi dan diangkat menjadi lurah. “Sebelumnya saya menjadi pegawai biasa saja di Kelurahan Pasar Pagi pada 2008,” katanya. Sebenarnya Idfi tak pernah bercita-cita untuk bekerja di instansi pemerintahan. Namun, karena suka dengan politik dan sistem pemerintahan, dia menyeriusi passion-nya itu hingga bisa menjadi kepala pada usianya yang masih muda. Maret lalu menjadi pengalaman berharganya karena bisa belajar sistem pemerintahan di Belanda.
Talent for Governance yang diadakan di Belanda dia ikuti. Berbagai proses penyeleksian dia lakukan seperti membuat essay dan interview. Seleksi ini cukup ketat karena hanya boleh satu orang yang mewakili Indonesia untuk menghadiri program tersebut. “Satu bulan saya magang di Pemkot Amsterdam. Di sana banyak belajar juga soal kelurahan. Kan ternyata sistem pemerintahan Indonesia dan Belanda sama persis,” katanya.
Sepulang dari sana, Idfi memiliki beban untuk bisa mengubah kelurahan yang dipimpinnya untuk bisa maju selayaknya di Negeri Kincir Angin itu. Dia ingin menjadi lurah yang mampu menjalin komunikasi yang baik dengan warga. Gadis 30 tahun tersebut juga ingin mengubah mindset masyarakat bahwa birokrasi di kelurahan itu mudah dan simpel. “Karena semua dokumen warga pasti diurus ke kelurahan. Bagaimana administrasi bisa baik kalau warga sudah berpendapat bahwa urusan kelurahan pasti ribet?” sambungnya.
Di Belanda, dia mempelajari bagaimana seorang lurah dapat mengayomi serta membuat warganya nyaman dalam mengurus berkas-berkas. Cara konvensional cukup lama mereka tinggalkan dan berubah menjadi digital. Otomatis setiap urusan dapat teratasi dengan mudah. Akhirnya Idfi pun terinspirasi. Sepulang dari sana, dia mengubah sistem pelayanan di kelurahannya, seperti pelayanan di bank. “Jadi nanti ada yang melayani urusan berkas, ada juga yang bisa mengajukan masalah atau konsultasi. Suasananya juga saya ubah,” tutur dia.
Suasana kantor kelurahan dia usahakan sejuk dan nyaman untuk orang-orang yang menunggu di sana. Dia dan staf pun sudah memakai e-Kelurahan. Aplikasi tersebut ada sejak 2014. Dia dan dua rekannya yang menggagas serta membuat e-Kelurahan tersebut. Fungsinya untuk membantu para aparat kelurahan dalam mengurus serta membuat berkas yang diinginkan warga. Dengan aplikasi tersebut, data warga tersimpan rapi dan tak perlu mengisi data berulang. “Format surat juga sudah tercantum, jadi tinggal pilih saja. Warga dan staf jadi sama-sama enak urusannya,” ucapnya.
Kini selain meningkatkan mutu pelayanannya di kelurahan, Idfi berharap bisa melanjutkan studi strata tiganya di luar negeri. “Tetapi rencana ini belum pasti karena masih banyak kerjaan yang harus saya maksimalkan. Semoga saja bisa terwujud,” tutup Idfi. (*/day/iza/k16)