Thorium dianggap salah satu solusi terbaik untuk pengembangan pembangkit listrik. Inventarisasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan) per akhir 2015, sumber daya thorium di Indonesia ada 130 ribu ton. Cukup untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT) hingga ribuan tahun.
NICHA RATNASARI, Jakarta
ISI perut bumi Indonesia tak hanya kaya dengan batu bara, minyak, gas, hingga emas. Ada juga kandungan thorium dan uranium. Thorium merupakan unsur radioaktif yang terdapat di alam dengan kelimpahan lebih besar dibanding uranium. Di negeri ini, ketersediaan thorium mencapai 130 ribu ton, hampir lipat dua dibandingkan stok uranium dengan 74 ribu ton.
Deputi Bidang Teknologi Energi Nuklir (TEN), Batan, Suryantoro, menjelaskan, thorium sebagai bahan bakar reaktor nuklir memiliki sifat atau karakter yang lebih baik dibanding uranium. “Misalnya, saat proses pembakaran di reaktor nuklir, thorium tidak menyisakan unsur plutonium yang berpotensi sebagai bahan pembuatan senjata nuklir,” terang Suryantoro.
Tak hanya itu, limbah radioaktif yang dihasilkan thorium lebih sedikit dan mampu menghasilkan energi listrik yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan PP 2/2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. Namun, saat ini thorium sebagai bahan bakar pembangkit listrik belum dapat digunakan secara optimal untuk tujuan komersial.
“Kalau kita berbicara tentang PLTN, saat ini dikembangkan dengan menggunakan bahan bakar uranium. Secara teknologi, sudah proven (terbukti), dan secara komersial juga sudah proven di negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jepang, Tiongkok, Korea, dan lainnya. Tapi, kalau menggunakan thorium belum ada,” jelas Suryantoro.
Diungkapkan, ada penelitian yang menyebutkan suatu saat uranium akan habis sama halnya dengan minyak dan batu bara. Maka ada suatu kegiatan yang telah dan tengah dilakukan, yakni penelitian atau pengembangan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar jenis thorium.
Disebutkan, 1 ton thorium dapat menjadi bahan baku reaktor yang menghasilkan listrik sebesar 1.000 MW selama setahun. “Kita memiliki potensi sebanyak 133 ribu ton thorium. Jumlah itu bisa jadi lebih kalau kita melakukan pendalaman dan penelitian di beberapa daerah lainnya di Indonesia. Sementara ini, ada di Bangka Belitung dan Kalimantan Barat,” sebutnya.
Keberadaan thorium di daerah tersebut berkaitan dengan sebaran batuan granitik yang merupakan bagian dari “sabuk granit timah” yang membentang dari Indochina, Semenanjung Thailand, Malaysia, Kepulauan Riau, Bangka Belitung, hingga Kalimantan Barat. Thorium terdapat dalam mineral monasit yang berasosiasi dengan endapan timah dan menjadi produk samping dari tambang timah. “Kandungan thorium di dalam monasit dapat mencapai kadar 4,738 persen,” sebut Suryantoro.
Akan tetapi, Suryantoro kembali menegaskan, teknologi mengenai PLTT belum mantap dalam arti belum komersial. “Sampai saat ini, belum ada yang komersial. Jadi, kita masih membutuhkan waktu antara 30-40 tahun lagi teknologi ini akan siap. Kalau kita buru-buru ingin menggunakan PLTN, pastinya harus pakai uranium saja dulu,” tuturnya.
Ketersediaan uranium juga terbilang terbatas meski saat ini ada 74 ribu ton. Namun, jika Indonesia kekurangan, kata Suryantoro, dapat melakukan impor dari luar dan biayanya terbilang lebih murah dibandingkan dengan bahan baku pembangkit lainnya, seperti batu bara. Hanya, perizinan impor uranium lebih rumit, mengingat dunia internasional pastinya akan ikut mengawasi Indonesia untuk memastikan bahwa bahan baku itu tidak digunakan untuk pembuatan senjata.
Selain itu, meski nuklir menjadi opsi terakhir bagi negara, namun Suryantoro mengatakan, telah terbit Perpres 22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Di RUEN, ada amanat untuk menyusun roadmap pembangunan PLTN. Yang berwenang untuk membuat roadmap itu adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Saat ini, sedang dibahas roadmap tersebut. Setelah pembahasan ini, nanti kemudian roadmap-nya akan disampaikan ke Presiden sebagai Ketua Dewan Energi Nasional (DEN). Sebab, hasil kajian yang ada menunjukkan apabila kita tidak menggunakan nuklir, kita akan kekurangan energi listrik pada masa depan,” ujar Suryantoro.
Status terkini, teknologi PLTT sedang dikembangkan di beberapa negara. Yang fokus adalah Tiongkok dan India. Tiongkok telah memulai proyek penelitian dan pengembangan terkait teknologi Reaktor Garam Cair Thorium atau Thorium molten-Salt Reactor Technology (TMSR).
Pada Januari 2011, dalam konferensi tahunan Chinese Academy of Science telah diumumkan secara resmi dengan sasaran utama meneliti dan mengembangkan sistem nuklir molten salt berbasis thorium selama kurang lebih 20 tahun ke depan. “Itu pun masih fase inisiasi. Kemungkinan, pengembangan untuk skala industri akan dimulai pada 2025 dan ditargetkan akan mulai terlaksana pada 2035,” kata Suryantoro.
Lantas, bagaimana di Indonesia? Batan sudah melakukan kajian PLTT. Institusi ini yang memang berkewajiban untuk melakukan penelitian dan kajian untuk seluruh teknologi nuklir dengan tujuan damai dan bukan untuk senjata. Termasuk juga pengembangan uranium untuk kesehatan, pertanian, dan industri. Mengenai nilai investasi yang dibutuhkan, Suryantoro tidak dapat menyebutkan.
Alasannya, teknologi PLTT belum pernah ada yang dikomersialkan. Jadi, belum ada negara yang berpengalaman. Tiongkok dan India masih sebatas penelitian dan pengembangan yang menghabiskan anggaran tidak murah.
“Tapi, kita juga sudah membentuk grup terkait pengkajian teknologi thorium tersebut. Grup yang terlibat adalah teman-teman pusat yang terlibat di Batan dan narasumber dari perguruan tinggi,” terangnya.
Disinggung mengenai adanya rencana pembangunan PLTT di Kaltim, pria yang dikenal sebagai pakar nuklir dan thorium ini menegaskan itu masih wacana. Awalnya, kata dia, PT Industri Nuklir Indonesia (Inuki) dan Asosiasi Profesio Nuklir Indonesia (Apronuki) bekerja sama dengan Thorcon, perusahaan internasional yang ingin membangun PLTT. Namun, hingga saat ini, belum ada informasi perkembangan lebih lanjut.
Keterlibatan Batan harus melakukan kajian apakah teknologi ini siap dibangun atau tidak. Nah, sampai saat ini masih tahapan meminta dokumen dan desainnya sehingga kita akan melakukan kajian. “Di dunia juga belum ada yang menggunakan. Kita kan juga ingin memastikan keselamatan masyarakat dan kesejahteraannya. Jangan sampai yang dibangun itu hanya untuk uji coba. Jangan sampai juga negara kita dijadikan tempat uji coba yang belum matang karena semua masih desain konseptual. Jadi, kalau mau dibangun harus membutuhkan detail desain dan juga sudah mendapatkan lisensi. Yang namanya PLTN dan PLTT ini harus benar-benar diyakinkan apa yang dibangun harus bisa beroperasi, jangan sampai tidak,” bebernya.
Suryantoro mengakui, wacana pembangunan PLTT di Kaltim merupakan usulan dari Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak. Menurutnya, usulan tersebut sangat visioner untuk mengembangkan teknologi yang tinggi di Benua Etam. “Saat itu, Batan diminta untuk melakukan studi prakelayakan. Kita masih menjaga kontak dengan Kaltim karena sebagai lembaga, litbang membantu pemda untuk mengembangkan itu. Ini kan terkait untuk pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat, sehingga gubernur memiliki kebijakan untuk mengembangkan ini,” imbuhnya.
Ditambahkan, Batan juga tengah membangun Reaktor Daya Eksperimental (RDE) bertipe High Temperature Gas-cooled Reactor (HTGR) atau reaktor tinggi dengan pendingin gas. Reaktor yang berbentuk bola-bola tersebut sudah sampai pada tahap basic engineering design dan 2018 berlanjut pada proses verifikasi. “Ini masih dalam bentuk prototipe yang dibangun membutuhkan waktu antara lima tahunan. Kemudian, terkait dengan pengembangan bahan bakarnya, HTGR ini bisa dikembangkan untuk bahan bakar thorium. Kita sengaja mengembangkan dengan tipe HTGR ini dengan alasan bisa dikaitkan dengan thorium sebagai bahan bakar teknologi RDE tersebut. Nanti kita ada launching bulan Oktober terkait dengan detail engineering design-nya,” jelasnya. (far/k11)