CATATAN: HERDIANSYAH HAMZAH
MOMENTUM Pemilihan Gubernur Kaltim 2018, adalah wadah bagi rakyat. Untuk menjatuhkan pilihan pemimpinnya untuk masa lima tahun ke depan. Dari berbagai nama yang mulai muncul, setidaknya rakyat perlu membuat suatu skema jejaring seleksi sebelum menjatuhkan pilihan. Salah satu isu yang seharusnya masuk radar seleksi pemimpin ini adalah komitmen terhadap pemberantasan korupsi.
Setidaknya, terdapat beberapa variabel ukuran, pemimpin seperti apa yang kita anggap punya komitmen terhadap pemberantasan korupsi ini. Pertama, rekam jejak (track record). Aspek ini ditempatkan sebagai variabel pertama. Dikarenakan cukup mudah untuk melacaknya. Ada dua model penilaian rekam jejak yang kita butuhkan, yakni pasif dan aktif. Rekam jejak pasif merupakan penilaian yang didasarkan atas integritas seseorang.
Apakah di antara nama-nama calon yang tersedia, selama ini pernah punya masalah hukum atau tidak. Namun, tidak hanya terbatas masalah korupsi, tetapi juga kasus-kasus hukum lainnya. Sebab, masalah korupsi memiliki mata rantai yang berhubungan erat dengan perilaku kejahatan lainnya. Sedangkan rekam jejak aktif merupakan bentuk penilaian menyangkut komitmen seseorang. Apakah di antara nama-nama yang ada, pernah terlibat di dalam mendorong perjuangan pemberantasan korupsi secara aktif.
Jika rekam jejak ini nihil, maka hampir dipastikan momentum pilkada nanti, hanya akan dijadikan arena jualan dan mengumbar janji. Kedua, program. Soal ini yang terkesan kabur di mata publik. Hampir semua media sosialisasi bakal calon, baik melalui media cetak maupun elektronik, hingga baliho yang memenuhi jalan-jalan protokol (tanpa ampun), hanya menampilkan gambar/foto dan nama bakal calon.
Tidak ada program yang ditampilkan. Padahal kampanye program penting untuk membangun daya kritis dan kecerdasan politik rakyat (political efficacy). Untung saja, komposisi bakal calon yang bermunculan saat ini, adalah elite-elite yang saat ini sedang atau masih memegang kekuasaan. Ada wali kota Samarinda, bupati Kukar, bupati Penajam Paser Utara (PPU), wali kota Balikpapan, sekprov Kaltim, kapolda Kaltim, mantan bupati Kutim, dan mantan wali kota Bontang.
Artinya, publik tinggal melacak bagaimana program yang mereka jalankan selama ini di daerahnya atau di institusinya masing-masing, khususnya yang berkenaan agenda pemberantasan korupsi. Ketiga, prestasi. Tentu saja bukan sembarang prestasi. Tetapi, prestasi yang berkaitan erat dengan upaya membangun pemerintahan yang bersih. Banyaknya prestasi bukan jaminan bersih tidaknya kepemimpinan seseorang.
Tengok saja wali kota Tegal. Yang meski punya segudang prestasi, tetapi tetap saja diciduk juga oleh KPK melalui operasi tangkap tangan (OTT) beberapa waktu lalu. Prestasi juga bukan semata-mata soal penghargaan di atas kertas. Semisal opini wajar tanpa pengecualian atau WTP dalam pengelolaan keuangan daerah. Lantas, bagaimana kita mengukur prestasi ini? Ini bisa kita uji. Salah satunya dari praktik politik anggaran yang selama ini dilakukan oleh bakal calon.
Hal ini berkaitan dengan transparansi dan keterbukaan anggaran, peruntukan, dan keberpihakan anggaran terhadap sektor publik, hingga akuntabilitas penggunaan anggaran. Faktanya, masih terlalu banyak penggunaan anggaran yang berujung tindak pidana korupsi. Keempat, independensi. Aspek ini cukup menarik untuk dicermati. Hal ini berkaitan erat dengan politik balas budi yang berujung tawar-menawar kepentingan secara transaksional.
Berapa banyak pemegang kekuasaan yang berada dalam tekanan basis elite pendukungnya semasa pilkada? Bahkan tidak jarang justru menjadi pelayan bagi partai pengusungnya, bukan menahbiskan dirinya sebagai pelayan rakyat. Walhasil, kemandirian kepala daerah dalam bertindak dan merumuskan kebijakan, adalah hal yang sulit kita dapatkan. Lebih parahnya lagi, bahkan dijadikan lumbung pendanaan ekonomi terkait pos-pos urgen di daerah.
Sebut saja bisnis perizinan, dominasi tender proyek infrastruktur pembangunan, hingga permainan bantuan sosial (bansos) dan hibah. Kelima, keberpihakan. Setelah mengurai rekam jejak, program, prestasi dan independensi bakal calon yang ada, maka aspek yang perlu ditegaskan berkali-kali adalah keberpihakan. Sederhananya, kepada siapa selama ini para calon menghibahkan dirinya? Kepada rakyat atau jangan-jangan hanya untuk kepentingan kelompok dan golongannya saja?
Dalam konteks ini, penting pula untuk melacak kebijakan-kebijakan yang diambil. Cara menangani permasalahan, akan menentukan wajah mereka yang sesungguhnya, memihak kepentingan rakyat atau tidak. Misal dalam soal konflik tanah dan lahan (tenurial), penanganan masalah banjir, kasus hilangnya nyawa manusia di bekas galian lubang tambang, praktik upah murah terhadap buruh, broker perizinan, hak pendidikan dan kesehatan, hingga perlakuan terhadap kebebasan berpendapat dan berekspresi.
Inilah ukuran pokok yang publik harus gunakan sebagai jejaring seleksi sebelum menentukan pilihan nantinya. Sebab, komitmen pemberantasan korupsi, tidak berada di ruang kosong yang hanya ramai di omongan, tetapi sepi dalam tindakan. Kita butuh pemimpin yang benar-benar punya rekam jejak, program, prestasi, independensi, dan keberpihakan yang mumpuni dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang bersih. Kita butuh calon gubernur antikorupsi. (riz/k15)
(*) Penulis adalah dosen di Fakultas Hukum Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda dan Peneliti Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Unmul.