“FINAL kali ini bukanlah balas dendam. Ini kesempatan baru menjadi juara,” kata entrenador Atletico Madrid Diego Simeone seperti diberitakan ESPN kemarin (26/5).
Seperti ditulis pundit ESPN Miguel Delaney kemarin, Simeone mencoba meredam karakter “api” dalam dirinya. Caranya yakni dengan mengubah cara pandangnya soal final Liga Champions musim ini.
Dua tahun silam di Estadio da Luz, Lisbon Real Madrid di bawah Carlo Ancelotti menancapkan pisau ke jantung Atletico berkat kemenangan 4-1 lewat extra time.
Kalau kali ini Real kembali menang, luka Atletico dan Simeone makin perih. Entrenador Real Zinedine Zidane seperti menabur garam untuk menambah rasa sakit itu.
Final Liga Champions 2015–2016 Minggu (29/5) dini hari lebih pantas disebut Derbi Madrinelo yang dipindahkan. Bukan di Santiago Bernabeu atau Vicente Calderon, melainkan San Siro Milan.
Nah, pertarungan Real Madrid versus Atletico Madrid di partai puncak kali ini melibatkan dua nama entrenador satu generasi. Yakni, Zinedine Zidane versus Diego Simeone. Usia keduanya hanya terpaut tiga tahun. Zidane 43 tahun sementara Simeone 46 tahun.
Sebagai pemain, keduanya pernah bentrok di kompetisi domestik yang sama. Pertama di kompetisi Serie A. Zidane membela Juventus (1996–2001) sedang Simeone berkostum Inter Milan (1997–1999) dan Lazio (1999–2003).
Pertarungan keduanya berlanjut di Liga Primera. Zidane membela Real dalam lima tahun (2001–2006). Lalu, Simeone bersama Rojiblancos, julukan Atletico, musim 2003–2005.
Sebagai pemain keduanya punya style berbeda 180 derajat. Zidane dikenal dunia sebagai playmaker elegan. Kaki-kaki Zidane punya daya magis menghipnotis bek dan penonton. Dribbling dan olah bola bapak empat anak itu membuatnya diganjar pemain terbaik dunia tiga kali.
Sementara itu, Simeone lebih diingat sebagai pemain bengal, tukang provokasi, dan sering diving. Dengan label demikian, pria asal Buenos Aires itu tak heran dikenal sebagai salah satu bad boy Serie A maupun La Liga. Namun, karakter tersebut akhirnya yang menghadirkan napas dalam permainan Atletico di kemudian hari.
Akan tetapi, ketika pensiun dan meniti karier sebagai arsitek tim, Simeone memulai lebih dulu ketimbang Zidane. Di klub terakhirnya, Racing Club Argentina, bapak tiga anak itu memulai meretas karier kepelatihannya pada usia 36.
Sid Lowe menulis di The Guardian, Simeone adalah tipikal pelatih yang selalu menghadirkan spirit perjuangan dalam pasukannya. Jadi, setiap pemain merasa bahwa kalah-menang bukan selalu hal utama. Justru, kengototan selama di lapangan punya peran krusial.
“Saya lebih menyenangi tim ini menyerang sekali dan menang 1-0. Ketimbang kami mengepung lawan dalam 15 menit dan melepas banyak tembakan namun tanpa kemenangan,” ucap Simeone.
Simeone juga membentuk timnya dengan segala teriakan dari pinggir lapangan. Pria yang memulai karier bermainnya bersama Velez Sarsfield itu tak ingin anak asuhnya kendor barang semenit pun di lapangan.
“Kerja keras adalah semuanya di lapangan. Pemain bintang tak akan mengangkat performa tim,” ujar Simeone. “Malah pemain dengan ambisi menang meningkatkan tim,” tambah Simeone.
Pemilik 105 caps buat Argentina tersebut dengan formasi 4-4-2 bisa memberikan tekanan bergelombang buat lawannya. Bertemu dengan tim-tim yang mengedepankan ball possession, Simeone meredamnya dengan pertahanan rapat. Ilmu grendel lini belakang yang didapatnya ketika berkompetisi di Italia selama enam tahun.
Dalam situs UEFA, Simeone mengatakan tak sabar melengkapi rekornya musim ini. Di perjalanan menuju final, Simeone dan Atletico mengandaskan raksasa-raksasa di Eropa.
Pada perempat final, Atletico menyingkirkan Barcelona dengan agregat 3-2. Kemudian, di semifinal, Atletico memutuskan asa Bayern ke final dengan agregat 2-2. Gabi dkk lolos ke final berkat gol away.
“Kami sudah melalui dua dari tiga tim terbaik dunia saat ini. Dan kami menghadapi tim ketiga, juga terbaik di dunia di partai puncak,” tutur Simeone.
Sementara itu, Zidane yang merasa ilmu kepelatihannya masih seumur jagung kepada AS kemarin mengatakan jika Simeone dan Atletico memiliki semuanya. Skuad solid, ambisi menang besar, juga karakter kuat.
“Simeone menunaikan tugas sebagai pelatih dengan sangat luar biasa. Simeone punya ilmu dan pemahaman sangat luas tentang sepak bola,” ujar Zidane.
Real di bawah Zidane bermain seperti tuntutan para Madridista. Tampil elegan, ofensif, dan menang. Sejak menggantikan Rafael Benitez sebagai arsitek per 4 Januari lalu, bapak empat anak itu terus menuai pujian.
Tak seperti Simeone yang senang berteriak-teriak di pinggir lapangan, Zidane lebih mirip aristokrat. Zidane menyuntikkan motivasi luar biasa di ruang ganti. Zidane juga sering memberikan wejangan secara personal kepada pemain-pemain yang dianggapnya punya kemampuan mengubah jalannya laga.
Dengan strategi 4-3-3 yang dianut Zidane, Real berhasil seimbang dalam menyerang juga bertahan. Peran trio BBC (Gareth Bale, Karim Benzema, Cristiano Ronaldo) di lini depan jelas tak terganti.
Di lini tengah, Zidane memasang Casemiro sebagai gelandang bertahan mumpuni. Pemain asal Brasil itu versi Whoscored punya rata-rata tekel 3,2 kali per laga, intersep 2 kali per laga, dan clearance 1,5 kali per laga.
“Saya terus menyemangati diri untuk belajar buat musim mendatang. Saya melihat karier kepelatihan saya masih sangat-sangat panjang,” ujar Zidane kepada AS.
Pertemuan musim ini adalah momentum bagus Zidane membalas kekalahan dari pertemuan di Liga Primera. Pada 27 Februari lalu, untuk kali pertama kekalahan dicorengkan Atletico buat karier kepelatihan Zidane di Real. (dra/jpnn/bby/k8)