Menjadi negara kepulauan, sektor maritim mestinya menjadi kekuatan utama perekonomian Indonesia. Sayang, segudang kendala masih menantikan pembenahan. Dari standardisasi infrastruktur, sampai belum meratanya aktivitas pelayaran.
DIKETAHUI, kontribusi sektor kelautan terhadap struktur perekonomian Indonesia hanya sekitar 20 persen. Dibandingkan negara yang didominasi daratan seperti Tiongkok pun, porsi itu lebih kecil.
“Porsi tersebut adalah urutan ke-27 yang terbesar. Negara-negara di luar kawasan (Asia Tenggara) yang tak lebih potensial, porsi kelautannya bisa lebih besar terhadap perekonomian. Dengan kondisi geografis kepulauan, harusnya kelautan ini menjadi penopang dominan,” ucap Direktur Operasional Pelindo IV Makassar Alif Abadi, dalam Diskusi Kemaritiman Nasional di Hotel Platinum Balikpapan.
Forum tersebut digagas tiga asosiasi. Yakni Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI), Asosiasi Perusahaan Bongkar Muat Indonesia (APBMI), dan Indonesian National Shipowners Association (INSA).
Alif menyampaikan, regulasi terkait kemaritiman sudah cukup banyak digulirkan pemerintah. Termasuk paket deregulasi yang beberapa kali dikeluarkan pada era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, sejak tahun lalu. Kelemahan saat ini, kata dia, adalah sinergi antarpihak yang berkaitan dengan aktivitas laut.
“Kebijakan sudah banyak. Kita memang lemah dalam realisasi. Selain antara perusahaan dengan pemerintah, regulasi di pusat dan daerah pun ada yang masih harus disinergikan,” ungkapnya.
Di samping itu, Alif menambahkan, Indonesia juga membutuhkan aktivitas ekonomi baru lebih banyak. Aktivitas industri, kata dia, juga harus dikembangkan secara merata di setiap zona. “Soal kemerataan ini, tentu berkaitan dengan kawasan timur Indonesia. Sekitar 80 persen industri saat ini berlokasi di Pulau Jawa dan Sumatra.
Sementara dengan wilayah lautan lebih luas, kawasan timur Indonesia hanya dapat 20 persen sisanya. Tak heran, ekspor dan impor juga terkonsentrasi di barat,” jelasnya.
Kebijakan seperti direct call yang diberlakukan untuk Makassar, serta Balikpapan dan Jayapura, beberapa waktu lalu disebut Alif sudah tepat. Selanjutnya, kata dia, tinggal memastikan kesiapan infrastruktur pelabuhan dan terbentuknya jaringan pelayaran yang intensif. “Pelabuhan juga masih perlu banyak pembenahan.
Saat ini, 90 persen pelabuhan, terutama di kawasan timur, beroperasi dengan skala utilisasi kecil. Ini jelas timpang. Disparitas lain antara barat dengan timur Indonesia,” urainya.
Dia membeberkan, dalam 10 sampai 15 tahun terakhir, tidak lebih dari 1.000 meter persegi, infrastruktur pelabuhan yang dibangun dan dikembangkan Pelindo IV di kawasan timur Indonesia. Fasilitas pun masih sangat banyak difungsikan di lokasi yang bersifat existing.
“Banyak yang sekadar diperbarui, padahal itu pelabuhan dari zaman Belanda. Lokasinya sudah tidak ideal, banyak yang mepet dengan perkotaan. Untung saja, di Balikpapan sudah dipindahkan sejak 2011 lalu.
Di Samarinda sejak 2009. Makassar rencana dipindah tahun ini, dan tahun depan untuk Kendari. Kita mesti mempercepat langkah seperti ini,” urai dia. Alif mengingatkan, pengembangan infrastruktur juga harus dibarengi standardisasi. Terutama dalam sistem pelayaran.
“Mesti diupayakan multiport connectivity. Tak cuma antarpelabuhan, namun juga antarpelayaran atau pelaku-pelakunya. Belum lagi bicara standardisasi infrastruktur yang kasat mata,” pungkasnya. (man/lhl/k15)