SAMARINDA - Larangan penerbitan izin usaha baru pertambangan dan perkebunan yang digagas Presiden Joko Widodo terang mengancam perekonomian Kaltim. Tapi di satu sisi, aturan tersebut bakal membuat pengusaha tak lagi menunda pekerjaannya kala izin telah diterbitkan.
Deputi Kepala Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPw-BI) Kaltim Harry Aginta mengatakan, berdasarkan hasil penelusurannya moratorium yang digagas Presiden Jokowi tersebut sebenarnya memiliki hal positif, yakni dengan maksud memaksimalkan izin perkebunan dan pertambangan yang telah diterbitkan. Sebab, izin yang telah terbit selama ini belum menunjukkan pergerakan.
“Berdasarkan laporan dari BPMPTSP (Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Kaltim, perusahaan-perusahaan yang telah mengurus izin belum melakukan kerja di lapangan. Yakni, hanya sekadar izin prinsip, dengan tertulis di atas kertas,” ujarnya saat ditemui di ruangannya, Jumat (16/4).
Dia menilai, ketimbang izin terus dikeluarkan tanpa memberikan kontribusi kepada perekonomian Kaltim, memang lebih baik dimoratorium. Pemberhentian itu tentu hanya sementara, sampai batas waktu yang ditentukan.
“Daripada perusahaan terus melakukan land clearing karena perizinan diberikan, itu justru merusak lingkungan tanpa memberi kontribusi terhadap ekonomi Kaltim. Itu terbukti, nilai investasi yang masuk ke Kaltim tinggi, terus mengalami peningkatan. Tapi, perekonomian Kaltim justru lesu. Artinya, tidak ada kontribusi dari perizinan investasi yang diterbitkan,” papar Harry.
Kalau perizinan baru dimoratorium, hal itu menjadi lebih mengoptimalkan lahan. “Mengapa mereka (perusahaan) tak lakukan eksekusi langsung ketika izin terbit, saya tak mengerti. Pengusahanya yang lebih baik tahu. Izin itu bisa dicabut nanti kalau tak ada eksekusi di lapangan, sampai waktu tertentu,” bebernya.
Dia menjelaskan, pemberlakuan moratorium bisa memberi dampak yang baik dalam artian, keadaan ekonomi tertekan namun izin usaha tambang dan perkebunan terus bertebaran. Maka diutamakan memaksimalkan izin perusahaan yang telah terbit.
Yakni, dengan menekan perusahaan supaya mereka segera bekerja. Lalu memberi kontribusi untuk daerah. “Itulah yang bagus dari pemberlakuan moratorium, memaksimalkan ekonomi dari perizinan yang diterbitkan,” jelasnya.
Adapun realisasi investasi Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) di Kaltim pada 2015, yang tercatat di atas kertas, adalah Rp 9,6 triliun. Dari jumlah itu, realisasi investasi sektor tanaman pangan dan perkebunan terdapat Rp 2,093 triliun (30 proyek), yang menyerap tenaga kerja Indonesia (TKI) hingga 13.569 orang, dan 1 orang tenaga kerja asing (TKA). (lihat grafis)
Sejurus itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim menyebut, produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim pada 2015 mencapai Rp 564,7 triliun. Jumlah itu mengalami penurunan dibanding PDRB 2014 sebesar Rp 579,01 triliun. Sementara perkebunan menyumbangkan PDRB sebesar Rp 14,9 triliun. Berdasarkan angka tersebut, perekonomian Kaltim pada 2015 mengalami perlambatan, yakni minus 0,85 persen.
Harry menyebut, nyaris tidak ada bedanya izin yang baru dikeluarkan tapi tak maksimal, dengan moratorium izin. “Sebab, perusahaan bisa melakukan land clearing duluan yang lebih banyak menggunakan tenaga mesin, ketimbang menyerap tenaga kerja manusia. Izin yang sudah terbit seharusnya sudah dieksekusi,” ujar dia.
Ia menambahkan, hal pemicu lain yang memang perlu jadi pertimbangan adalah karena oversupply sektor pertambangan batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Sementara itu, harga kedua sektor itu semakin tak tentu, bahkan cenderung mengalami penurunan.
Terpisah, Kepala Bagian Tata Usaha BPS Kaltim Achmad Zaini menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Kaltim terus mengalami kontraksi. Jika dengan migas tercatat minus 0,85 persen, maka pertumbuhan ekonomi tanpa migas pada 2015 itu tercatat minus 0,92 persen. Sementara jika tanpa batu bara dan tanpa migas, maka pertumbuhan ekonomi Kaltim justru tumbuh 3,83 persen.
“Hal itu mengartikan, pertambangan batu bara memberikan kontribusi bagi perekonomian Kaltim. Terlihat pada saat batu bara dikeluarkan dari PDRB, justru terhitung pertumbuhan ekonomi lebih positif (3,83 persen),” paparnya.
Sejumlah masalah timbul dari izin tambang dan perkebunan yang telah terbit belakangan. Paling dirasa, yakni saling tumpang-tindih lahan. Luas Kaltim selepas Kaltara dimekarkan adalah 12,7 juta hektare. Dari angka itu, 46 persen atau setara 5,2 juta hektare ternyata diperuntukkan untuk kawasan tambang. Sementara, luas perkebunan 3,37 juta hektare.
Diketahui, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana mengeluarkan instruksi presiden (inpres) tentang moratorium izin lahan pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Menurut Jokowi, jumlah lahan perkebunan saat ini dianggap sudah cukup. Namun, produksi tandan buah segar (TBS) yang dianggap belum optimal.
Luas lahan kelapa sawit di Indonesia diketahui mencapai 10,4 juta hektare dengan produksi 70 juta ton per tahun. Dari total lahan tersebut, 4 juta hektare merupakan lahan yang dikelola oleh petani rakyat. (mon/rom/k15)