BALIKPAPAN - Penetapan Kota Minyak sebagai pusat pelayaran ekspor dan impor langsung (direct call) untuk area Kalimantan ibarat belati bermata dua. Di satu sisi sebagai peluang besar bagi para pelaku usaha jika digarap maksimal, di sisi lain, justru akan merugikan secara makro karena arus impor justru bakal menyerang industri domestik. Saatnya pelaku usaha dan pemerintah berhitung secara jeli.
Hal tersebut diungkapkan Ketua Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Kaltim Faisal Tola. Diakuinya, sebagian besar pelaku dunia usaha pasti menyambut baik penetapan direct call tersebut. Namun, kata dia, harus lebih dulu diperhitungkan potensi yang dapat diekspor maupun diimpor.
Sederhananya, kata Faisal, direct call itu di mana arus ekspor impor lewat jalur pelayaran akan langsung dilakukan di Balikpapan. Barang impor dari berbagai negara akan masuk. Pertanyaannya, apa yang bisa sebaliknya kita ekspor untuk menjaga keseimbangan neraca perdagangan. “Batu bara? Kan kita semua tahu situasi tambang saat ini. Menurun. Lantas apa lagi yang mau diekspor?” tanya Faisal ketika berbincang dengan Kaltim Post, Selasa (5/4) malam.
Pemikiran dasar yang diutarakan pengusaha yang juga anggota DPRD Balikpapan ini ialah, pertama, pemerintah harus segera membenahi infrastruktur yang terhubung langsung dengan wilayah penghasil komoditas ekspor. Misalnya, daerah penghasil rumput laut, ikan, kepiting, lobster, buah, dan komoditas lainnya.
“Tentu bicara infrastrukturnya lebih bagus pelabuhan, karena biar bagaimanapun jalur laut lebih efektif dan efisien. Tapi, kualitas jalur darat juga penting dibenahi, karena di sebagian daerah, ada juga yang lebih pas pakai jalur darat untuk menuju Balikpapan,” urainya.
Namun, hal ini mesti dibarengi kesiapan pengusaha, dari level UKM hingga kelas atas, untuk mempersiapkan produk lokal yang layak ekspor.
Selanjutnya, pemerintah dan swasta harus bersinergi untuk menjadikan Kaltim sebagai hub pelayaran daerah-daerah yang memiliki potensi ekspor. Sebagai contoh, lanjut dia, jalur pelayaran dari Palu Sulawesi Tengah itu lebih dekat ke Kaltim ketimbang ke Sulawesi Selatan, begitupun dengan Sulawesi Barat dan Kaltara. “Pengusaha lokal Kaltim harus bisa bersinergi dengan pengusaha daerah tersebut agar komoditas ekspor semua melalui Balikpapan terlebih dahulu,” tutur Faisal.
Namun, hal itu tak seindah yang dibayangkan. Masalahnya, lanjut dia, skenario itu tak bisa berjalan mulus kalau Kaltim tidak punya komoditas yang bisa balik dikirim ke wilayah tadi. Sebab, biaya kapal akan menjadi mahal. “Kalau kapal datang dan balik ke daerah itu (Palu, Sulbar, Kaltara) terisi, biaya transportasi akan murah. Sebaliknya, kalau dari Kaltim tidak ada yang bisa dikirim ke daerah, maka akan biaya akan jadi mahal. Nah, mari kita pikirkan potensi apa yang bisa digarap untuk dikirim di daerah-daerah tersebut,” sebut Faisal.
Kalau semua skenario itu bisa terpenuhi, tambahnya, barulah yang dinamakan direct call itu berjalan mulus. “Kita tidak bisa hanya bertepuk tangan larut dalam euforia kalau Balikpapan akan dicanangkan sebagai jalur pelayaran internasional. Masih banyak PR yang harus segera diselesaikan terlebih dahulu,” ungkapnya.
Terkait komoditas, Faisal menegaskan, Kaltim tetap perlu memetakannya dengan sangat matang. Neraca perdagangan, kata dia, mesti dalam posisi surplus dulu, agar saat arus lalu lintas ekspor-impor nanti lebih deras, daerah ini tak diserang produk dari luar.
“Sekarang saja, untuk yang berkaitan dengan keseharian masyarakat, produk impor masih mendominasi. Minimal impor dari luar daerah,” ujar Faisal.
Pemerintah, lanjutnya, mesti memiliki kebijakan terkait klasifikasi komoditas yang boleh keluar dan masuk ke Kaltim. Jika bersinggungan dengan potensi produksi di daerah, mestinya ada perlindungan bagi produsen lokal.
“Bisa dilindungi dari sisi harga, karena kita tahu, barang-barang konsumsi impor itu murah. Kalau dibiarkan saja bersaing dengan hukum pasar, pasti banyak yang kalah pebisnis di daerah,” ungkapnya. (man/lhl2/k15)