PROKAL.CO, style="text-align: justify;">Muara Kaman, Kutai Kartanegara (Kukar), tak hanya terkenal dengan situs kerajaan Hindu tertua di Indonesia, tapi juga cagar alamnya.
MENUJU cagar alam Muara Kaman-Sedulang bisa menggunakan jalur darat dan sungai. Jika memilih menggunakan kendaraan roda dua atau empat, perjalanan yang ditempuh sekitar empat jam dari Kota Tepian. Namun, bila ingin menikmati wisata Sungai Mahakam waktu yang diperlukan kurang lebih 7 jam memakai kapal sewa.
Berbagai flora dan fauna bisa ditemui di cagar alam Muara Kaman-Sedulang, namun yang menarik perhatian ialah pesut mahakam. Sebab, populasi kerabat lumba-lumba itu tak mencapai angka seratus. “Bisa dikatakan langka,” ucap Kepala Resort Cagar Alam Muara Kaman-Sedulang, Fahmi.
Wajar saja Fahmi berkata demikian, karena jumlah pesut mahakam saat ini hanya 80 ekor. Itu pun tersebar dari hilir hingga hulu Mahakam. Keberadaan ikon fauna Kaltim itu terancam oleh lalu lintas sungai, aktivitas masyarakat dan perusahaan, karenanya hewan dengan nama latin Orcaella brivirostris itumencari tempat yang lebih aman.
“Tahun 2003 sempat dilakukan penangkaran, tapi tak berhasil. Pesut lebih suka di alam bebas,” terangnya.
Menurut dia, selain sosialisasi pemerintah, bantuan pihak swasta diperlukan agar masyarakat mengerti bahwa kawasan Muara Kaman-Sedulang masuk dalam perlindungan negara karena statusnya sebagai cagar alam. “Jika nekat melakukan pembalakan liar di kawasan cagar alam, siap-siap berhadapan dengan hukum,” tuturnya.
Mewujudkan itu, PT Bara Tabang pun mengadakan sosialisasi mengenai pentingnya melindungi cagar alam dan pesut mahakam di Muara Kaman pada Kamis (24/3). Selain Fahmi, ada Syahrir dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kaltim, dan Witono dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim.
Tak hanya itu, Camat Muara Kaman Izhar Noor serta Kepala Teknik Tambang PT Bara Tabang Wahyudin juga ikut memberikan materi dalam penyuluhan tersebut. Turut hadir beberapa instansi, yakni Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Perhubungan Kukar kemudian Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP) Samarinda, serta karyawan perusahaan. Masyarakat yang mengikuti pun antusias.
“Acara ini memang penting, agar warga lebih paham mengenai keberadaan cagar alam dan pesut mahakam yang harus dilindungi, khususnya di wilayah Kecamatan Muara Kaman," kata Izhar Noor.
Dia berpendapat, sudah seharusnya semua perusahaan melakukan perlindungan untuk lingkungan dan menunaikan tanggung jawab sosial seperti PT Bara Tabang. Semua pihak harus bekerja sama dan mendukung keseimbangan lingkungan hidup, bukan hanya pemerintah.
"Cagar alam Muara Kaman-Sedulang dan pesut mahakam harus dilindungi bersama," tegasnya.
Namun, yang menjadi persoalan, kata dia, cagar alam Muara Kaman-Sedulang berada di permukiman, sedangkan warga tersebut lebih dulu ada sebelum pemerintah mengesahkan Muara Kaman-Sedulang sebagai cagar alam pada 1975. Memang sesuai aturan melarang permukiman berada di kawasan cagar alam, namun itulah kenyataannya. Selain persoalan tersebut, ada juga kebakaran hutan.
"Kami harap warga mau menjaga serta memerhatikan, karena cagar alam Muara Kaman-Sedulang dilindungi UU Nomor 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya,” paparnya.
Sementara itu, Kepala Teknik Tambang PT Bara Tabang, Wahyudin, menyatakan acara sosialisasi dan edukasi lingkungan merupakan program perusahaan. Agenda itu meliputi pengelolaan alur Sungai Kedang Kepala, pengelolaan keanekaragaman hayati, perlindungan habitat dan pesut serta pelaksanaan tanggung jawab sosial perusahaan.
Pihaknya berharap, masyarakat yang tinggal di sekitar wilayah cagar alam dan para pengguna alur Sungai Kedang Kepala dan Sungai Kedang Rantau lebih mengerti pentingnya melindungi kawasan cagar alam Muara Kaman-Sedulang dan pentingnya melindungi flora dan fauna. “Terutama pesut mahakam yang terancam punah” sebutnya.
Menurut Wahyudin, pemasangan papan imbauan merupakan cara untuk melindungi cagar alam Muara Kaman-Sedulang. Pemasangan papan serupa akan dilanjutkan di sepanjang Sungai Kedang Kepala dan Sungai Kedang Rantau, sebanyak 26 papan.
Penebaran bibit ikan nila dan lele (keli) 40 ribu ekor di Danau Siran, Desa Muara Siran juga sebagai upaya menambah stok ikan tangkapan dan pakan pesut di perairan yang dianggap telah mengalami krisis karena iklim dan penangkapan yang berlebihan.
“Perusahaan akan melaksanakan kegiatan serupa secara berkelanjutan dengan tujuan dapat mengembalikan fungsi ekosistem yang seimbang. Jika bukan kita, siapa lagi yang melindungi,” tegas Wahyudin.
Menuju lokasi penebaran bibit ikan di Danau Siran, Desa Muara Siran, membutuhkan waktu satu jam lebih dengan menggunakan perahu panjang dari Muara Kaman. Masyarakat Desa Muara Siran terbiasa dengan kehidupan rawa. Ketika musim hujan tiba, sebagian besar wilayah desa 42.201 hektare itu tergenang.
Tak heran, jika Muara Siran mendapat julukan kampung di atas air. Tetapi, aktivitas warga tak terganggu, sebab sebagian besar warga membangun rumah panggung yang terhubung dengan jalan dan jembatan kayu ulin. Danau Siran memang cocok untuk budi daya lele. Dengan luas 750 hektare, ikan-ikan itu bisa berenang bebas dan mencari makan. “Setahun atau dua tahun sudah bisa dipanen,” pungkasnya.
Sebagai nelayan, Asni pun bersyukur pihak swasta masih memerhatikan warga sekitar, sebab sudah dua tahun banjir tak ada. Meskipun musibah, bagi Desa Muara Siran luapan air itu anugerah karena ikan-ikan bisa terbawa ke wilayah permukiman warga. Jumlahnya bisa mencapai belasan ton.
“Kami berharap bibit perusahaan ini bisa memberikan dampak positif bagi kami,” pungkasnya. (pms/*/ypl/kri/k8)